June 22, 2020

Anger, Hate, and Why We Often Misinterpreted Them

Seringkali kita ngerasa unpleasant feelings terhadap orang-orang atau beberapa kelompok tertentu, dan alasannya pun bervariasi. Tapi terkadang kita masih belum bisa memahami apakah yang kita rasain hanya sekadar marah atau bahkan udah sampe ke level yang lebih tinggi, benci. 

Jujur selama ngelakuin riset ini, aku pun masih lost – ngerasa bias antara dua “emosi” ini. But I will try my best to describe them in brief explanation (huhu finger-cross). 

Amarah sebenarnya bukan salah satu emosi utama. Perasaan ini muncul karena ada emosi lain yang lebih dulu memicu dan membuatnya menjadi suatu media kamuflase. Bisa dibilang marah merupakan salah satu perilaku – karena kalau dilihat dari intensitas dan durasinya, marah cenderung hanya datang sesaat dan tidak mematikan perasaan atau perspektif kita terhadap orang tersebut, beda halnya dengan rasa benci. 

Pada dasarnya, marah merupakan salah satu upaya kita buat menghilangkan berbagai hambatan yang disebabkan oleh orang lain saat kita pengen mencapai atau memperoleh sesuatu. Dari sini, kita bisa menghubungkan kalau amarah merupakan salah satu bentuk respon dari adanya suatu ancaman. Blair, dalam penelitiannya, menemukan jika kenaikan tingkat ancaman akan berbanding lurus dengan level amarah seseorang. Aku ambil contoh ya; misal A, sebagai terdakwa dari kasus pencurian lagi diinterogasi sama pihak kepolisian. Dengan pertanyaan beruntun yang dilontarkan oleh petugas tersebut – dan gak memungkinkan menyudutkan posisi A juga – ia akan merasa terancam dan menjawab pertanyaan atau bahkan menyangkalnya dengan amarah. Penelitian ini juga ngebahas gimana kaitannya emosi marah melekat pada pasien PTSD. Singkatnya, ancaman yang dirasakan bisa mengubah responsivitas sehingga meningkatkan risiko kemarahan. Aku bakal bahas di postingan selanjutnya yes 😛 

www.meetlalaland.com - bedanya marah dan benci

Rasa marah kepada seseorang biasanya timbul karena ngeliat apa yang udah mereka perbuat, sedangkan biasanya kita benci "for being what they are."

Marah bisa dipicu ketika orang yang kita kenal dekat ngelakuin sesuatu yang bikin kita frustasi atau jengkel – dan hal ini cenderung bersifat come and go. Kita marah karena ngerasa bisa “mengontrol” orang tersebut atau “menuntut” kata maaf dan perubahan perilaku dari mereka. Beda sama benci. Cerita sedikit, ya. Biasanya nih, kalau ngumpul sama temen-temen dan ngeliat satuuuuu aja kelakuan atau kebiasaan salah satu orang yang gak kita kenal dekat timbul deh omongan “duh, ganggu banget nih orang” – padahal dia gak ngelakuin sesuatu yang ngerugiin kita. Pas ditanya kenapa, sering banget kita kasih jawaban “gak tau. Gak suka aja." 😂 

Dari sini sebenarnya bisa sedikit dilurusin, bukan karena kita bener-bener gak tau alasannya tapi lebih ke arah bentuk respon terhadap karakteristik dari orang tersebut yang udah bikin kita ngerasa ‘terusik’. Konfigurasi penilaian terhadap target kebencian kita berfokus pada sifat bawaan dari dirinya sendiri, makanya mau mereka ngerubah sikapnya segimana pun atau bahkan mungkin minta maaf ribuan kali – padahal mungkin mereka gak berbuat salah – sama kita, semua usaha gak akan mengurangi rasa benci kita terhadap mereka kaya yang udah dijelasin dalam penelitian Fishcer. Dibanding emosi yang lain, benci butuh lebih banyak waktu buat berevolusi – tapi sekalinya muncul, butuh waktu yang lama juga buat ngilanginnya dan gak jarang bakal ninggalin luka buat kita. Terutama pada situasi immediate hatred yang terus berulang sehingga dapat mengubah rasa benci menjadi sentimen yang bertahan lama, jadi hal yang wajar ketika seseorang mengalami suatu peristiwa buruk dan terus ada di memori mereka untuk periode yang gak bisa kita atur. 

But what should I do when I hate my closest acquaintance or may be person who I love the most? Oke, ini pasti berat banget. Pada dasarnya, love and hate itself saling berbagi area dan menunjukkan pola yang unik pada daerah putamen dan insula – hal ini menjadi salah satu alasan kenapa kedua emosi ini saling terkait satu sama lain.

Joseph Burgo merekomendasikan salah satu cara untuk mengatasi kebencian adalah melalui metode splitting dengan harapan ia dapat menemukan ambivalensi dalam hubungan manusia. Metode ini semacam mengalihkan rasa benci kita pada objek lain. Misalnya kita punya temen baik banget nih sama kita, tapi ada dari salah satu sifat dia yang kita benci – let say, being judgmental towards other – kita cenderung bakal memproyeksikan apa yang kita benci dari dia ke hal lain karena kita menganggap hubungan dengan temen kita lebih penting. Nah, biasanya disini awal mulanya. Gak jarang kita memisahkan dan mengarahkan rasa benci kita pada seseorang yang kita anggap sebagai ‘musuh’ atau mungkin orang-orang yang kita rasa pantas untuk dibenci. 

Kenyataannya ada banyak banget cara buat self-defensing yang bisa kita aplikasikan untuk mengatasi dua emosi ini. Aku gak bisa membenarkan atau menyalahkan cara tertentu, karena itu semua tergantung pada diri kita masing-masing. Cari cara yang paling efektif – kalau bisa, hindari aksi impulsif yang bisa ngerugiin diri kita. Don’t waste your energy over and keep positive. 


Sources: 
Blair, R. J. R., (2011). Considering anger from cognitive neuroscience perspective. Wiley 
Borgo, J., (2013, February 14). The Difference between Anger and Hatred 
Fischer, A, et al., (2018). Why we hate. Emotion Review 1-12 
Pogosyan, M., (2019, November 25). Understanding Hate 
Seltzer, Leon F., (2008, July 11). What Your Anger May Be Hiding. Interdisciplinary Reviews: Cognitive Science, 3(1), 65-74 
Zeki, S., Romaya, J. P., (2008). Neural correlate of hate. PLoS ONE, 3(10), e3556

Post a Comment

Instagram