Pernah gak ngerasa kesel sama temen atau siapapun dan berpikiran “kok dia jahat banget sih!”? Atau pernah gak, kalian ngeliat orang lain yang udah dimanfaatin abis-abisan dan mikir “ya ampun, udah digituin sama anak-anak lain masih aja mau temenan sama mereka”?
Kalau aku pernah banget, BAHKAN SERING. Terkadang masih gak ngerti sama pola pikir mereka yang gampang banget buat maafin orang, dan gak abis pikir sama mereka yang selalu “sirik” sama orang lain yang berujung either talking behind their back or even worse, bullied them.
Selama #dirumahaja, karena kerjaan juga jadi berkurang (dang!) mulailah mikir macem-macem. Dan beberapa hari ini yang menganggu pikiranku adalah “sebenernya sifat dasar manusia itu baik, atau malah jahat dari lahir ya?” Terlalu filosofis, I know. Tapi gak ada salahnya kan buat cari tau?
Kalau menurut logika aku sih, manusia dilahirkan ya dalam keadaan yang baik; kita lahir kasarnya belum berbuat apa-apa, belum ngelakuin kesalahan besar atau bahkan merugikan orang lain. But probably as time goes by, we grow as a human being with uncontrolled surroundings. Untuk bisa bertahan hidup, kita butuh makan; untuk makan kita butuh sumber makanan, dan sumber makanan kita makhluk hidup juga. Dengan menjadikan makhluk lain sebagai salah satu cara kita buat bertahan hidup, apa bisa dibilang jahat?
Soo, akhirnya aku cari tau nih dan ternyata banyak banget pro-kontranya!
Dari penelitian Paul Bloom ditemukan bahwa pada dasarnya bayi punya sense buat nentuin mana yang bener dan mana yang salah. Hal tersebut ditunjukkan dengan eksperimen dimana para peneliti membuat short play dari beberapa bentuk yang dijadikan sebagai boneka dihadapan bayi berusia 6-10 bulan, dan di short play ini juga dibikin setting yang menyerupai bukit-bukit. Bentuk-bentuk tersebut akhirnya diberikan peran masing-masing; bentuk A mencoba buat mendaki bukit tersebut namun terus gagal, bentuk B digambarkan sebagai penolong dan bentuk C diilustrasikan sebagai penghalang (dalam artian gak membantu bentuk A sama sekali).
Di akhir short play, bayi tersebut diminta untuk memilih salah satu bentuk. Pada akhirnya, sang bayi menyukai dan memilih bentuk B. Disini bisa ditarik kesimpulan kalau bayi melihat short play tersebut sebagai suatu motivasi; mereka bisa melihat kalau bentuk B “ingin membantu bentuk A” (which is good) dan bentuk C “ingin menyebabkan masalah kepada bentuk A” (well, its bad).
For making sure, finally the researchers repeated the experiment. Bayi tersebut ditunjukkin adegan kedua dimana bentuk A bakal buat keputusan; bergerak kearah bentuk B atau bentuk C. Waktu yang dipake bayi terhadap dua kasus ini ngungkapin outcome apa yang mereka pikirin. Bayi memakan waktu lama saat melihat bentuk A bergerak ke arah bentuk C dibandingkan saat bergerak menuju bentuk B. Hal ini juga jadi masuk akal kalau bayi bakal “kaget” saat ngeliat bentuk A ke arah bentuk C; karena A bergerak ke arah B bakal jadi happy ending (and that’s what they expected). Sama halnya dengan kagetnya kita kalau ngeliat temen kita tiba-tiba dipeluk atau dipukul orang lain.
Gak sampai disitu, aku cari lagi sumber-sumber lain.
Christian Jarrett menyimpulkan setidaknya ada 10 temuan psikologi yang mengungkapkan sisi buruk dari manusia. Disini aku bakal jabarin beberapa diantaranya:
- Masih ada yang memandang rendah kaum minoritas. Disini masih ada yang mengkotak-kotakkan orang lain? Walaupun sebagian dari kita mungkin udah gak ada yang ngelakuin ini, sayangnya diluaran sana masih banyak orang yang dehumanisasi kaum minoritas yang dianggap memiliki kedudukan lebih rendah. Salah satu blatant dehumanization yang masih ada sampai sekarang adalah kaum Muslim yang masih dipandang rendah bahkan dianggap sebagai teroris oleh beberapa kelompok. Sebuah penelitian menunjukkan kalau kecenderungan ini bahkan udah mulai ada dari usia 5 tahun.
- Kita udah bisa ngalamin schadenfrude dari usia 4 tahun. Ngeri! Gak bisa kita pungkiri sih kalau slapstick comedy terlihat lebih lucu dibanding dengan mereka yang mengeluarkan jokes secara verbal. Tanpa kita sadari, kita ini udah memiliki schadenfreude; yang merupakan perasaan senang ketika melihat orang lain menderita. Ternyata, istilah ini telah kita rasakan sejak usia dini. Kathryn Schulz dan koleganya menemukan bahwa anak berusia 4 tahun telah memiliki potensi schadenfreude ketika melihat orang lain kesakitan, terlebih jika orang tersebut pantas mendapatkannya.
- Punya pemikiran sempit, cenderung dogmatis. Terlalu banyak orang-orang yang gak punya pemikiran terbuka. Mereka cenderung ikut-ikutan apa kata orang lain yang kebenarannya belum tentu valid (atau kasarnya kemakan gosip). Kita melihat apa yang ingin kita lihat, dan percaya yang ingin kita percaya; yang akhirnya menghalangi kita buat cari fakta lain yang lebih relevan.
- We might be deny it, but we have trolls potential. Instagram, twitter, facebook, atau sosial media lainnya memang memiliki beberapa keuntungan, terlebih lagi ketika kita lagi dalam situasi pandemic seperti ini. Namun, efek negatif dari media sosial dapat menumbuhkan aspek terburuk dalam diri kita. Sekarang banyak banget ditemukan online trolling yang gak hanya satu, tapi bisa merugikan banyak pihak. Online trolling sendiri merupakan intensi untuk menghasut, berkata kasar atau bahkan mengeluarkan pernyatan negatif secara online buat dapetin respon dari banyak orang dan bahkan menggiring opini orang ke pembicaraan yang out of topic.
Tapi jangan sedih, Matthew Warren menyebutkan sebenernya manusia juga punya sisi baiknya kok. Ini dia salah satunya!
- Gak disangka, anak-anak kenyataannya selfless. Satu waktu aku sempet kasih hotwheels sama boneka buat keponakan-keponakan aku, satu cowok (Abang) satu lagi cewek (Adek). Aku kira dengan ngasih mainan buat mereka masing-masing hidup bakal damai – gak disangka Adek lebih suka nge-drift dibanding nyisirin rambut Barbie – ternyata mereka rebutan juga. Tapi gak lama, Adek yang menang pertarungan akhirnya berbagi sama Abang; ini ngebuktiin kalau sebenarnya anak kecil tuh gak egois! Mereka cenderung lebih prososial dibandingkan kita orang-orang dewasa.
- Perhatian dan punya naluri buat mendahulukan kepentingan orang lain. Ketika kita ada di public transportation atau tempat umum lainnya dan ngeliat orang tua atau ibu hamil yang gak dapet tempat duduk, secara impulsif kita pasti ngasih kursi kita buat mereka. Dari sini kita bisa liat kalau kita pada dasarnya memiliki sifat altruistik – bahkan gak jarang kita cooperate dengan beberapa orang yang sebenarnya kita gak dapet manfaat buat diri kita sendiri.
- Salah satu guiltiest pleasure kita didorong oleh rasa empati. Sekarang ini makin banyak reality show yang membeberkan kehidupan bahkan identitas seorang public figure. Kita bela-belain ngeluangin waktu buat ngeliat pasang-surut hubungan orang yang gak dikenal atau mungkin menyaksikan gimana proses mereka meraih impian namun gagal di tengah jalan sebagai suatu “hiburan” kita. Namun, berdasarkan temuan Shitrit dan Cohen, dorongan kita buat nonton reality show semata-mata bukan karena kita ingin ngeliat mereka being humiliated, tapi karena kita merasa empati kepada mereka.
- Mereka yang “menderita” justru nunjukkin kasih sayang paling besar kepada orang lain. Jika bisa memilih, siapapun pasti gak mau mimpi buruk mereka menjadi kenyataan. But sadly, life doesn’t work that way. Rasa trauma akan suatu kejadian buruk bisa bikin kehidupan seseorang hancur dan memberikan dampak negatif kepada mereka. But what doesn’t kill you, makes you stronger. Mereka yang punya “penderitaan” lebih berat cenderung memiliki rasa empati dan afeksi yang lebih besar. Bisa menghadapi dan tetap bertahan dengan segala kesulitan yang mereka miliki meyakinkan mereka untuk dapat membantu dan membangun rasa simpati kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan.
Itu dia beberapa temuan mengenai sifat-sifat dasar yang kita miliki. Semua balik lagi ke diri kita, dan lingkungan menjadi salah satu faktor pendukungnya. Aku inget salah satu dialog film yang paling ngena banget buat aku:
“…. What if after everything I’ve been through, something’s gone wrong inside me? What if I’m becoming bad?”
“I want you to listen to me very carefully, Harry.
You’re not a bad person – you’re good person, who bad things happened to.
Besides, the world isn’t split into good person and Death Eaters.
We’ve all got both light and dark inside us; what matters is the part we choose to act on. That’s who really are.”
- Harry Potter and the Order of the Phoenix
Pada akhirnya, semua keputusan yang kita ambil atas tindakan kita, itulah jati diri kita sebenarnya. Kita harus bertanggung jawab atas apa yang kita pilih dan tidak lari dari apa yang telah kita perbuat. Being bad is easy, and that’s why being good make it classy.
Sources:
McLoughlin, Niamh, et al. (2017). Young children perceive less humanness in outgroup faces. Developmental Science, 21(2), e12539, 1-10.
Schulz, Kathryn, et al. (2013). Daniel has fallen into a muddy place – Schadenfreude or sympathy? British Journal of Developmental Psychology, 31(4), 363-378.
Hershman-Shitrit, M., and Cohen, Jonathan. (2018). Why do we enjoy reality shows: is it really all about humiliation and gloating? Journal of Media Psychology Theories Methods and Applications, 30(2), 104-111.
Lim, Daniel, and DeSteno, David. (2019). Past adversity protects against the numeracy bias in compassion. Emotion. Advance online publication.
Post a Comment