“Collin, ini Vivi dari program tari – Vi, ini Collin. Sepupuku.”
“Hai!” ia menjulurkan tangan, menampilkan barisan giginya yang rapi dari bibir tipisnya dan menempatkan tubuhnya disamping Bastian. “Lagi apa?”
“Lagu buat preliminary minggu depan. Kau tidak ada kelas sore ini?”
“Harusnya ada, tapi instrukturku berhalangan hadir jadi mungkin akan ada kelas pengganti malam nanti.”

Seperti biasa, Papa Gio setiap sorenya selalu dipenuhi oleh mahasiswa – jelas karena lokasinya berada di pusat kota dan dikelilingi oleh beberapa universitas dan perkantoran elite. Interior Papa Gio sendiri layaknya sebuah restoran Italia, didominasi oleh perabot kayu – meja, kursi, lantai, hingga peralatan makan – dengan dinding berwarna natural di satu sisi, dan sisi lainnya terdapat mural dari Città Sant’Angelo, salah satu kota di Abruzzo, Italia yang merupakan tempat kelahiran dari Papa Gio dan istrinya. Tampak sebuah pohon ek setinggi lima meter yang dikelilingi sejumlah table set dan sebuah panggung kecil pada area outdoor yang disediakan Papa Gio di tengah restorannya. 

Papa Gio sendiri telah mengelola restoran miliknya sejak 15 tahun silam, tepat setelah kelahiran putri bungsunya yang kini menempuh pendidikan di sekolah yang sama dengan Karen. Istrinya, Florence, sempat divonis memiliki tumor jinak pada payudaranya tahun lalu. Beruntunglah ia dapat bertarung melawan sakitnya dan sekarang kondisi fisiknya jauh lebih baik. Mereka sempat kewalahan untuk membiayai pengobatan Florence – inilah yang menyebabkan gaji Kiana tidak turun selama beberapa bulan – namun akhirnya mereka mendapatkan bantuan dari kedua anak tertuanya dan kini kondisi finansial mereka kembali stabil.

Buona sera, Kiana! Kau kesini menggantikan Joshua?”
“Halo, Papa,” ia mengambil celemeknya yang disangkutkan dekat meja kasir. “Ya, dia ada asistensi di kampusnya sampai jam 5 nanti. Ini temanku, Karen dan Barry.”
“Senang bertemu dengan kalian. Ia tidak pernah membawa siapapun kesini, sepertinya dia tidak memiliki teman.” Kiana melempar tatapan jengkel kepadanya, berusaha meredam emosi.
“Astaga, Gio. Berhentilah menggoda Kiana.” Florence kini membawa buku menu, mengantar Karen dan Barry ke salah satu meja di area outdoor. “Kiana sudah kami anggap sebagai anak kami sendiri, dan sikap Gio semakin menjengkelkan Kiana setiap harinya. Aku harap dia betah bekerja disini.”
“Dia menyukai pekerjaannya, Signora.” Karen meraih buku menu dan memberikan senyum khasnya kepada Florence.
“Panggil aku jika kalian butuh sesuatu,” ia melesat pergi menuju area dapur.
“Abis denger cerita Kiana, gue langsung suka sama mereka.”
They’re good people. Gue kayanya udah gak keitung deh makan disini.”

Tidak sampai setengah jam, pesanan mereka sudah ada di meja. Karen memesan chicken parmigiana – disajikan dengan saus pesto dan keju mozzarella diatasnya – dan red shrimp with Caesar salad yang ditemani parmesan frico untuk Barry.
“Bukannya lo bakal ada acara ya akhir bulan ini? Yang Jazz Annual itu kapan?” Karen membuka pembicaraan.
“Sabtu ini.”
“Dua hari lagi tapi kok lo kelar cepet hari ini?”
“Gue kasih semua kerjaan gue ke anak magang. Akhirnya setelah berbulan-bulan gak ada yang bisa disuruh, mereka dateng juga.”
“Gaji buta lo.”
“Sehari doang, Ker. Sensi amat,” Barry meneguk sparkling water, berpikir dan akhirnya bertanya, “lo bakal dateng?”
“Tergantung sih. Preliminary gue kan hari Senin, jadi gue harus liat kondisi dulu siapa tau gue harus latihan lagi sama anak-anak.” Karen melihat ada sedikit kekecewaan dari raut wajah Barry yang saat itu sedang mengalihkan pandangannya ke arah panggung. “Tapi gue bakal usahain buat dateng, kok. Gak ada dress code aneh-aneh kan?”
Barry mengubah pandangannya kembali, kini menghadap Karen. “Enggak lah, lo kira mau ke Oscars?” ia menambahkan tawa renyahnya. “Lo boleh ajak Kiana kok, atau yang lain. Gue yang bayar tiketnya.”
“Wow, ada apaan nih tiba-tiba lo jadi royal begini.”
Dari meja kasir, Kiana melihat pemandangan ini. Udah gak salah lagi, gue harus tanya Karen, pikirnya. Ia pun terdistraksi oleh pengunjung yang hendak membayar pesanannya.

Bel Canto: New York, New York

“Sepertinya dia menyukaimu,” Collin buka suara setelah terdiam sejak ia menyelesaikan santapannya.
“Maksudmu?”
“Perempuan tadi, ia menyukaimu. Kau belum sadar juga?”
“Vivi? Jangan asal bicara kau.”
“Begini, saudaraku.” Collin memperbaiki posisi duduknya. “Dari dia datang saja yang dia ajak bicara hanya kau, padahal disini ada aku yang jelas-jelas sudah berkenalan dengannya. Omong-omong, dia hanya menyapaku sekali tanpa bertanya barang cuaca sekalipun padaku.”
Bastian mengerutkan dahinya, kemudian tertawa. “Itu karena kau tidak memulai pembicaraan, Collin. Jika kau yang memulai, dia pun pasti akan menjawab.”
No, it’s nothing like that.” Collin bertanya dengan spontan, “kau menyukainya bukan? Atau ada perempuan lain yang kau sukai?”

Bastian menatap kosong ke layar laptop. Entahlah, sampai saat ini ia belum merasakan apapun pada Vivi – kecuali rasa kagumnya ketika pertama kali ia melihat Vivi menari di studio. Ini masih terlalu cepat, ia baru saja mengenalnya pagi tadi.

Beda halnya dengan Karen. Walaupun ia baru mengenalnya beberapa minggu terakhir secara resmi, namun rasanya ia telah lama memahaminya. Teringat kembali pembicaraan mereka di malam itu saat ia berjalan ke arah apartemen Karen, menemaninya pulang.
“Bagaimana akhirnya kau sampai disini?” tanya Bastian, berjalan menaiki tangga yang diikuti Karen menuju permukaan jalan.
“New York? Aku sudah di kota besar ini sejak SMA, sebelumnya aku tinggal bersama kakak ibuku di Princeton.”
“Kupikir kau baru saja pindah kesini tahun lalu.”
“Tidak. Aku sudah meninggalkan Indonesia dari usiaku 10 tahun. Force to the limit for the sake of my dreams.” Karen kembali memancarkan senyum sambil mengibaskan rambut hitamnya. “Bagaimana denganmu? Apa yang membuatmu dan Collin akhirnya kemari?”
“Ayahku meninggal awal tahun lalu. Cancer. Sepertinya kecil peluangnya bagi setiap penderita kanker stadium akhir untuk bertahan hidup dalam waktu yang lama.”
I’m sorry, Bas.”
That’s fine. Awalnya aku tidak memiliki keinginan untuk pergi. Toulouse adalah kota yang indah, aku dan Collin benar-benar menyukainya dan enggan untuk meninggalkan kota kami – itu sebutan konyol kita untuk Toulouse. Beda denganku, Collin dengan otak encernya mendapatkan beasiswa untuk bidang yang benar-benar ia minati.”
Don’t you like composing music?
I do. Tapi sampai sekarang aku belum melihat manfaat dari aku mengambil major ini. Aku menyukainya – namun aku tidak bisa melihat masa depanku dengan apa yang aku jalani sekarang. Kau tahu, terlalu banyak komposer brilian diluar sana.”
Karen mengambil napas panjang, berusaha untuk mengambil kesimpulan dari apa yang didengarnya. “Kau benar-benar harus membenahi jalan pikiranmu,” ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya. “Apa kau tidak pernah bahkan satu kali saja untuk mengapresiasi bakat yang kau miliki? Yang kau punya itu luar biasa, Bas. Caramu memilah dan menulis cerita, sampai mengaransemen untuk menjadi sebuah lagu selalu membuatku heran – can someone be this genius?
Bastian terdiam mendengar hal itu, ia tidak pernah berpikir untuk menghargai setiap karya yang telah ia buat. Ia akui jika ia telah membuat setidaknya ratusan lagu sejak ia duduk di bangku sekolah dasar, tapi ia tidak pernah menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang spesial.
Don’t be so hard on yourself. Tidak banyak komposer yang bisa konsisten dalam periode yang panjang. Aku harap kau memilikinya.”
I hope so.” Bastian mencari topik untuk melanjutkan pembicaraan. “Bagaimana dengan keluargamu? Apa mereka mendukung keputusanmu?”
“Orang tuaku tidak pernah ada di rumah – ayahku seorang pilot dan ibu bekerja sebagai konsultan perusahaan multinasional yang mengharuskannya untuk selalu bepergian. Mereka sepenuhnya percaya pada keputusanku, apa yang ingin aku lakukan untuk hidupku.”
“Kau punya saudara lain?”
“Satu adik perempuan, beda dua tahun denganku. Dia tinggal bersama nenekku di Indonesia. She’s an ignorant girl.
“Apa dia bisa bernyanyi juga sepertimu?”
“Dia bergabung dalam paduan suara di sekolahnya, jadi menurutku dia bisa bernyanyi.” Karen menunjukkan sebuah foto dari ponselnya, “namanya Sandra. Diambil saat aku pulang ke Indonesia dua tahun lalu.”
She looks just like you.” Bastian berusaha menyesuaikan matanya dengan layar ponsel. “Aku bisa mengatakan dia adikmu jika melihat mata dan hidungnya.”
“Ya, dia amat mirip denganku.” Karen memasukkan ponsel ke dalam tasnya, melanjutkan..

“Kau memikirkan perempuan lain rupanya.”
“Apa?”
You do have a girl crush.” Collin mengacungkan pisau dengan tangan kanannya. “Siapa perempuan yang ada dalam pikiranmu sekarang?”
“Tidak ada.” Bastian dikejutkan dengan getaran ponsel di saku celananya. Ia membuka pesan dari nomor tidak dikenal:

“Kau ada waktu kosong Sabtu ini?” -Vivi

“Lo udah ngabarin Bastian kita udah di studio?”
“Udah, belum bales. Masih makan kali mereka.” Tidak lama pintu studio terbuka, Bastian dan Collin masuk dengan membawa dua buah cup carrier – masing-masing berisi dua gelas Espresso – di tangannya.
“Oh, kita hanya membawa empat gelas.”
That’s okay.” Barry mengangkat tangannya, memperkenalkan diri. “Barry, salam kenal.”
“Bastian, dan ini Collin.”
“Dia Technical Director disini dan mengundang kita ke Jazz Annual Sabtu nanti. Kalian bisa ikut?” jelas Kiana. 
“Dengan senang hati.” Collin tidak pernah melewatkan acara musik Jefferson. Ia selalu hadir setiap tahunnya.
Cool. Kita langsung latihan ya?” Karen menghampiri sudut ruangan, mengambil segelas Espresso dan memberikannya ke Barry yang ia terima dengan senyuman hangat. 
Coba liat deh thumbnail pic dalam postingan ini. Ngerasa seger gak sih? Bayangin rasa manis-asamnya beradu dalam mulut kita, wih kadang makan satu aja gak cukup.

Nah, bisa jadi pertanyaan nih – kenapa kita udah bisa tau rasanya, padahal makanan atau minuman yang kita liat belum nyampe ke lidah kita? Buat yang kepo, baca terus yuk!

Sebelum masuk ke pembahasan utama, aku mau jelasin dulu ya proses lidah kita akhirnya bisa mengecap semua rasa. Gustatory system atau sistem pengecapan merespon semua molekul yang terdapat pada makanan atau minuman, yang dilarutkan oleh air liur kita. Kita bisa liat ada benjolan-benjolan kecil di lidah – namanya papilla – yang melindungi ribuan sel pengecap (tastebuds) didalamnya, bertugas untuk mendeteksi rasa pada makanan. Mungkin dulu kita pernah diajarin kalau rasa bakal bisa ‘dirasain’ di area tertentu (ujung lidah buat rasa manis, etc.) – well, it’s not true. Sebenarnya reseptor rasa tersebar luas, bahkan untuk satu tastebud mungkin mengandung protein reseptor untuk beberapa rasa. Bisa diilustrasikan seperti satu rumah yang dihuni oleh banyak anggota keluarga, yang masing-masing memiliki tanggung jawab berbeda, namun gak jarang mereka juga ngelakuin tugas rumah lain. Jadi sebenarnya gaada penyusunan reseptor rasa yang jelas di lidah kita, seluruh bagian lidah bisa merasakan semua rasa dan gak terbatas pada daerah tertentu. 

Ketika makanan yang kita kunyah udah bercampur dengan air liur dan menyebar di sekitar papilla, protein reseptor akan menyeleksi molekul yang bercampur pada makanan dan mendeteksi target partikel makanan. Ibaratnya protein reseptor kaya gembok, kalau udah ketemu kunci yang cocok (dalam hal ini partikel makanan ya) mereka bakal bereaksi. Saat reseptor distimulasi, mereka akan mengirimkan sinyal melalui tiga saraf kranial menuju medulla oblongata di batang otak, lalu ke thalamus dan berakhir di gustatory cortex untuk menerjemahkan sinyal dan bikin kita sadar sama rasanya.

www.meetlalaland.com - pedas bukan rasa, dan hubungan indera pengecap dengan indera penciuman

Okay, now we dive into the main problem. Apa sih yang bikin kita bisa lebih dulu tau rasa makanan tertentu? Pertama, dari sisi penciuman. Rasa dan bau terbentuk dari persepsi bahan kimia yang ada di udara atau makanan kita dan keduanya memiliki hubungan erat. Indera pengecap dan penciuman sama-sama tergantung pada pendeteksian molekul. Secara bersamaan, kedua indera ini menciptakan persepsi dan indera penciuman kita menambah kompleksitas untuk rasa yang kita rasakan – misal kita mencium aroma dari udon, pasti lidah kita udah ‘terbayang’ rasa gurih dari kaldunya. 

Indera pengecap dan penciuman bergabung di bagian belakang tenggorokan, dan keduanya menggunakan kemoreseptor yang terdapat pada papilla di lidah kita. Selain itu juga ada aktivasi reseptor serupa di hidung yang berkoordinasi dengan aktivasi reseptor rasa, sampai akhirnya kita bisa bedain mana yang manis dan mana yang pahit. Makanya, karena kedua indera ini bersentuhan langsung dengan lingkungan, gak heran kalau kita lagi sakit kita gak bisa bedain rasa makanan karena penciuman kita ikut terganggu. 

Kedua, dari sisi visual. Kita suka berasumsi sama penampilannya, misal kita pesan minuman yang warna merah kita bakal mengasosiasikan minuman tersebut dengan rasa manis. Menurut Ndom dan kedua rekannya, meskipun gak ada kaitan sama rasa minuman yang sebenarnya, warna minuman sangat mempengaruhi tebakan kita. Sama halnya dengan plating. Makanan yang disajikan diatas piring putih akan mengarahkan persepsi kita ke rasa yang lebih kuat, karena warna makanan terlihat lebih cerah dan appetizingStewart dan Goss menjelaskan kalau piring putih bundar meningkatkan intensitas rasa makanan sebesar 30%. Besar juga ya!

Terakhir adalah dari segi emosi. Sadar atau enggak, mood kita bakal ngasih dampak pada cara kita memandang makanan loh! Berdasarkan penelitian Noel dan Dando, orang dengan mood positif bakal lebih sensitif sama rasa manis, sedangkan mood negatif akan lebih peka dengan rasa asam. Ada juga penelitian yang mengungkap kalau orang dengan tingkat kecemasan dan neurotisme yang tinggi lebih suka sama rasa manis karena mencirikan ‘perasaan nyaman.’ Para ilmuwan lagi semangat-semangatnya buat meneliti lebih lanjut terkait persoalan ini, kita tunggu perkembangan selanjutnya ya!

Satu lagi aku mau ngingetin, karena masih banyak yang menganggap kalau rasa itu ada lima: manis, asam, asin, pahit, dan pedas. PEDAS IS NOT A TASTE! Pedas merupakan sensasi nyeri dan nyeri bekerja melalui reseptor rasa sakit atau biasa disebut nosiseptor yang terdapat pada lapisan luar kulit dan selaput lendir mata, hidung, mulut, dll. Nyeri bikin kita sadar kalau ada sesuatu yang bisa ngerusak tubuh kita. Nosiseptor menanggapi sesuatu yang bisa merusak tubuh dengan mengirimkan sinyal ke otak yang bakal menafsirkan dan mengirim informasi untuk bikin lidah kita mati rasa – bersifat temporary dan gak merusak indera perasa. Rasa terakhir adalah umami, yang sebenarnya udah diidentifikasi oleh ilmuwan Jepang di tahun 1908 lalu.

Masih banyak fakta menarik lain soal indera yang satu ini, yang mungkin bakal aku bahas lebih lanjut di postingan selanjutnya. I hope you find this article helpful and stay healthy. Bhaiiii!


Sources:
Blumenrath, S. (2020, January 17th). How Taste and Smell Work
BrainFacts SfN. (2012, April 1st). Taste and Smell
Ishti. (2016, June 13th). Did You Know That ‘Spicy’ is Not a Taste?
Jones, Sarah L. The Truth Behind The Myth that Spicy Foods Kill Your Taste Buds. Retrieved November 30, 2020
Lumen Candela. Taste and Smell. Retrieved November 30, 2020
Ndom, R., et al. (2011). The effect of colour on the perception of taste, quality and preference of fruit flavoured drinks. IFE PsychologIA, 19(2)
Noel, C., Dando, R. (2015). The effect of emotional state on taste perception. Appetite, 95, 89-95
Rak, S. How Psychology Affects the Way You Taste Food. Retrieved September 14, 2020
Richardson, P., Saliba, A. (2011). Personality Traits in the Context of Sensory Preference: a Focus on Sweetness. Handbook of Behavior, Food and Nutrition, 85-97
Sherman, C. (2019, August 12th). The Senses: Smell and Taste
Stewart, P. Goss, E. (2013). Plate shape and colour interact to influence taste and quality judgments. Flavour, 2(1), 27
Vera, Lucy A., Wooding, Stephen P. (2017, July 7th). Taste: Links in the Chain from Tongue to Brain

Instagram