Welcome back to my blog! This time, I’m gonna make a new section and it’s called I Made This – some pieces of me writing my cooking experiences. Honestly, I’m super nervous making this stuff because mostly I’m failing to make several cooks on my past😂 but thank God I’m getting better on it woohoo! 

First thing first, I’m so in love with Gyudon bowl – I like its saltiness, texture, and the slurping sensation for the meat itself (if you know what I mean). There is one restaurant which sells a really good Gyudon bowl and I always make an order for at least 1-2 times in a week; but because of this “mess”, that restaurant were temporarily closed for the past 4 months and I’m like “what in the world am I going to find this superb Gyudon bowl” 😭 

Through this longing feels, I thought of making my version of Gyudon bowl that easy to make with simple ingredients – no mirin, no dashi. I just put a basic and must-have-ingredients-in-your-kitchen. 

www.meetlalaland.com - membuat gyudon yoshinoya tanpa mirin

What you need (for 4 servings): 
  • 500 grams of thinly sliced boneless short rib 
  • 2 cloves of peeled garlic, roughly chopped 
  • 2 cloves of onion, sliced 
  • 5 grams of ginger (½ piece), chopped 
  • 4 tablespoons of teriyaki sauce (I recommend Kikkoman Garlic Teriyaki Sauce, its completely good) 
  • 1 tablespoon of soy sauce 
  • 1 tablespoon of butter 
  • 1 teaspoon of salt 
  • 1 teaspoon of sugar
  • 2 teaspoons of pepper
  • ½ piece of lemon, squeezed 
  • 250 mL (2,5 cups) of water 

Let’s get started! 
  1. Marinate the meat with soy sauce and a teaspoon of pepper (it’s better for you to do this 30 minutes before you start to cook) 
  2. Melt the butter, add the garlic and onion to the skillet. Cook them with medium heat until translucent, then add the ginger
  3. Stir in meat and cook it until browned 
  4. Add the teriyaki sauce, a pinch of sugar, and soy sauce 
  5. Stir-fry the meat, then add the water until its boiling 
  6. When the water is reduces, season with salt and pepper. Add the lemon juice for the last touch 
  7. Lower the heat, simmer for about 15 minutes 

www.meetlalaland.com - membuat gyudon yoshinoya tanpa mirin

Mission accomplished! On my first attempt, I was starstruck with this bowl. It has a same taste with the original one and only took like probably 45 minutes more or less. The seasoning itself is according to your appetite, so I suggest you add them with the recipe first then add it gradually. I hope you can try this soon and hook yourself on cook! xx
Akhir libur musim panas kali ini ditutup dengan satu kata – frustasi. Bagaimana tidak, di saat mahasiswa lain masih santai pada tahun pertamanya, Karen harus menyerahkan setidaknya empat manuskrip untuk empat subjek berbeda. Ia pun terpaksa untuk menghentikan kontraknya sebagai pekerja paruh waktu di salah satu toko ritel dekat apartemennya. 

Panas matahari saat itu masih menyengat, memberi isyarat kalau ia masih ingin bertengger disana setidaknya sampai akhir bulan Agustus ini. Karen yang telah menyelesaikan tahun pertamanya tengah bersiap memasuki semester baru. Ia mengayuh sepeda tuanya menuju Jefferson dengan peluh di sekitar hidung mungilnya. 

Jefferson merupakan institut seni bergengsi di dunia – berlokasi di salah satu distrik tersibuk di New York yang menjadi impian bagi semua pekerja seni. Setiap tahunnya Jefferson melahirkan banyak seniman, terutama Performing Arts yang merupakan fakultas unggulan dari konservatori ini. 

Karen mendapatkan beasiswa penuh untuk program yang diambilnya, Vocal Arts. Ia menjadi satu-satunya kandidat yang berhasil mendapatkan “keajaiban” ini sejak Jefferson memberikan danasiswa untuk seorang pianis asal Kolombia lima tahun yang lalu. Karen merupakan salah satu soprano terbaik dengan vocal range yang sangat lebar, maka amat disayangkan jika Jefferson melewatkan bakat langka tersebut. 

“Lo gak perlu ngontak gue kalau lagi sibuk,” jawab seorang gadis di ujung telepon. Sudah menjadi kebiasaan Karen untuk mengontak adiknya sesaat setelah ia memarkirkan sepeda. 
“Gak sibuk gue, sok tau lo.” Karen melanjutkan, “Lagi dimana sekarang?” 
“Baru balik les lah, mana lagi. Gue gak bisa bolos kaya dulu lagi ya sekarang, udah kelas tiga.” 
“Sadar juga lo akhirnya.” 
“Lo masih pake sepeda butut itu, kak? Batu banget sih, naik subway kan bisa. Lo udah dandan cakep ke kampus terus naik sepeda ya percuma, luntur lagi. Aneh.” 
“Sayang, San. Kalau diitung-itung, duit buat transport selama gue sekolah disini bisa gue tabung buat gue….” 
“…. hidup di Wina,” potong Sandra. Dia sudah paham betul jalan pikiran kakaknya yang satu itu. “Tapi kan gak ada salahnya buat naik subway sekali-kali. Lo gak punya trauma juga. Jadi orang jangan terlalu ngirit, ntar kuburannya sempit.” 
“Omongan lo ya! Bener-bener deh.” 
“Eh, udah ya. Gue mau mandi, terus tidur. Capek banget gue seharian ngintilin Gina.” 
“Tunggu, tunggu. Lo bilang tadi pulang kelar les, ngapain lo ngikutin Gina? Lo bo’ong ya? Gina kenapa emang?” 
“Duh, gue beneran les kok tapi gak sampe kelar. Ntar ya gue ceritanya, badan gue udah gatel-gatel. Bye.” Sandra langsung menutup telepon agar terhindar dari interogasi Karen. 

Karen langsung menuju toilet setelah pembicaraannya dengan Sandra berakhir. Ia menguncir ulang rambut hitamnya yang tebal dan mengganti pakaian dengan mini dress berbahan katun dengan motif garis-garis. Setiap hari ia selalu menggunakan setelan casual sport yang nyaman digunakan saat ia bersepeda menuju Jefferson lalu menggantinya dengan pakaian yang lebih “layak” – rapi dan tidak dipenuhi keringat. 

How’s your summer?” tanya Amber, teman sekelasnya. 
It’s exhausting. All the manuscript makes me fatigue every single day. Yours?” 
Same. At least I’m still alive ‘til now.” 
But you still look good though. Oh, by the way, have you seen Barry around? Susah banget buat ngontakkin dia belakangan ini.” 
Nope. Bentar deh, kalian sebenernya ada apa sih? Perasaan aku aja, atau kalian emang beneran sedeket itu?” 
“Gak ada apa-apa ya, karena sekampung jadi ya lebih nyambung,” Karen menjawab sambil menyemprotkan parfum di pergelangan tangannya. 
“Oke kalau emang bener kaya gitu. Yang aku tau Barry sekarang lagi sibuk sama Jazz Annual Performance. Aku sering liat dia bareng sama Keane.” 
“Oh iya? Kapan ya acaranya?” 
“Minggu terakhir bulan Oktober, bareng sama preliminary kita.” 

Karen mengangguk dan mengikuti langkah Amber menuju kelas. Dalam hening ia berpikir keras, bertanya dalam hati – apa dia sesibuk itu ya sampai lupa ngabarin aku? – dan tanpa sadar ia hampir menabrak pintu di depan matanya. 

Ear Training class – kelas paling membosankan sepanjang masa,” celetuk Amber setelah ia menduduki kursi di barisan tengah. Karen masih berada dalam lamunannya sampai Amber menepuk punggung tangannya dan berbisik, “Karen, lihat! 

Seorang wanita berkaki jenjang memasuki kelas dengan membawa classic handbag dan MacBook Air di tangan kirinya. Wajah tirusnya ditutupi oleh rambut ikal yang dibiarkan tergerai dan terdapat scarf kuning yang ia jadikan sebagai sebuah headband. Karen dan Amber melihat tanpa berkedip. 

Morning, fellas. Nama saya Cecil dan cukup panggil nama saya, tidak perlu menggunakan embel-embel lain,” jelasnya. Ia kemudian menjelaskan bahwa ia akan menggantikan Mrs. Diane yang telah pensiun akhir semester lalu. 

“Wow, karismanya.” 
“Aku tarik ucapanku tadi – ini akan menjadi kelas paling menyeramkan sepanjang masa.” 

Di sudut kelas ia tampak sibuk dengan pulpennya. Kepalanya dipenuhi oleh notasi yang telah tersusun rapi dan membentuk sebuah verse. Jarang sekali aku menghadapi jalan buntu seperti ini, pikir anak itu. Panggilan ketiga dari Mrs. Cecil membuyarkannya.

What are you doing up there, Sebastian?” 
Um, nothing, Ma’am. Sorry.” 
“Wow, anak ini rupanya tidak memerhatikanku dari awal. Tolong jangan bermain dengan duniamu sendiri, young man. Kehadiranku untuk hari ini tidak akan menghabiskan sisa hidupmu. Tahan ide-ide liarmu untuk sepuluh menit ke depan,” jelas Mrs. Cecil. 

Seisi kelas bahkan tidak dapat mengubah pandangannya dari Mrs. Cecil, berharap sepuluh menit dapat berlalu dengan cepat. Kaki Amber tidak bisa melepaskan tautannya dari kaki Karen sejak kelas dimulai. 

“Kali ini saya akan memberikan sebuah proyek untuk satu tahun ke depan. Kalian hanya perlu membuat sebuah role play beranggotakan dua orang dari dua program berbeda. Kalian bebas menentukan genre, partner kalian, dan kasting siapapun yang kalian kenal. Saya tidak akan hadir di kelas setiap minggunya, tapi kalian bisa berkonsultasi di ruangan saya di hari apapun. Saat preliminary nanti, saya harap kalian dapat menyelesaikan minimal hingga second stage. Saya akhiri kelas ini,” ia mengakhiri kelas dengan menutup notebook, kemudian berjalan melintasi ruangan. 

“Kau tahu? Aku menahan napas sejak ia masuk. Aku mulai merindukan Mrs. Diane,” Amber merebahkan kakinya yang telah lengket dipenuhi keringat. 
“Proyek sekarang bakal berat, Amber. Kita bahkan gak kenal anak-anak dari program lain.” 
“Salah besar. Ada Keane untukku.” 
Oh, right. You’re his girlfriend,” keluh Karen, menjinjing tasnya dan berjalan menuju perpustakaan. 

**** 

Karen yang tengah mengambil buku – ‘Panduan Penulisan Skenario,’ karya Duncan – tersontak ketika seseorang menutup matanya. Mengetahui aroma tangannya, ia langsung memutar dan mengomeli laki-laki tersebut.

“Tongki! Dari mana aja lo? Gila ya, gue udah kaya kesurupan nyari lo kemana-mana.” 
“Sori, sibuk banget nih. Asisten gue tiba-tiba resign bulan kemarin, terus gue gak sempet cari yang baru jadi semua gue kerjain sendiri,” jelas Barry. Karen memanggilnya Tongki karena ia sempat memakai tongkat selama empat bulan akibat sebuah kecelakaan kecil di Wilson Theatre. 
“Gak bisa gitu seenggaknya ngabarin gue sekali?” 
“Bisa. Nih, gue ngabarin sekarang,” Barry tertawa diikuti dengan tinju Karen yang mendarat di lengannya. 
“Gue juga bakal sibuk banget nih,” ada jeda disana. “Ralat, bukan sibuk. Tapi stres.” 
“Kenapa? Cecil ya?” 
“Kok lo tau? Stalker ya?” 
“Lo lupa gue siapa disini? Cecil bakal jadi main instructor lo sampe lo lulus,” Barry merupakan seorang Technical Director, tidak heran jika ia mengenal semua petinggi maupun pengajar di Jefferson. 
“Sumpah lo? Wow,” Karen menghembuskan napas berat lalu melanjutkan, “dia seumuran ya sama lo?” 
Apparently. Kenapa? Cemburu lo? Dia udah nikah ya.” 
“Udah nikah semuda itu?” 
“Dia istrinya Mr. Clark – punya satu anak cewek umurnya 6 bulan dan tinggal di 101 West End Avenue. Dia senior lo. Kayanya lo gak baca academic plan lo ya, jelas-jelas nama belakangnya ada nama suaminya.” 
“Istrinya Mr. Clark?” Karen langsung membuka academic plan yang tidak pernah ia buka sejak ia mendapatkannya. Adam Clark merupakan salah satu arranger terbaik di New York. “Ya ampun, umur segitu dia udah punya segalanya.” 
“Dan bakal menghantui lo sampe lulus,” tambah Barry cekikikan. 
“Eh, serius nih gue butuh bantuan lo banget. Lo gak punya kenalan dari departemen lain? Proyek gue sekarang cross-program dan gue butuh satu orang itu.” 
“Selain dari Vocal Arts? Keane?” 
Hello? Then what about Amber?” 
“Oh, iya. Kenalan gue banyaknya anak Applied Arts, yang gue tau dari departemen lo ya lo bertiga doang.” 
Karen yang sejak tadi menaruh harapan pada Barry kini terduduk di kursi di hadapannya, memikirkan siapa orang yang bisa ia ajak untuk “berkompromi”. Ia dikejutkan dengan sebatang Hershey’s Special Dark kesukaannya. 
“Nih, makan ini dulu. Gue yakin lo pasti belum sarapan.” 
Thanks, Tongki.” 

Berjarak dua lorong dari sana, Bastian – yang jarinya tidak lepas dari pulpen birunya sejak ia mendapat teguran Mrs. Cecil – masih berkutat dengan pikiran kosong seperti dompet di akhir bulan. Buku catatan dibiarkan terbuka, begitu juga dengan laptop yang menampilkan sejumlah note bar dari sebuah aplikasi pembuat musik. 

Dude!” 
Sorry. Kau dari tadi memanggilku? Kenapa?” 
“Udah tahu proyek nanti mau sama siapa?” Mario, yang dari tadi memanggilnya, panik setengah mati karena belum mendapatkan partner. 
“Belum. Kau dari tadi memanggilku sampai panik begitu hanya ingin bertanya hal ini?” 
“Jelas aku panik. Dia akan jadi instruktur untuk kelas ini sampai tahun ketiga.” 
“Yang bikin aku heran kenapa proyek untuk kelas ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan nama kelasnya,” sela Jacelyn yang datang bersama Mario. 
“Ada perubahan kurikulum untuk tahun ini – akan ada parallel-class dengan kelas utama dari program Vocal Arts, dan kelas itu otomatis akan masuk ke dalam kredit kita. Kalian tidak membaca academic plan?” jelas Bastian. 
“Kelas baru maksudnya? Yang Lyric Studies itu?” 
“Yup, tapi untuk Vocal Arts namanya lain. Aku lupa apa namanya, tapi yang jelas kelas itu akan memberikan tugas yang sama, jadi tugas kita dari subjek lain berkurang satu. Just chill.” 
But we can’t chill though. Walaupun dia tidak akan menghadiri kelas, asistennya akan tetap mengawasi dan memantau progres kita. Minggu depan kita sudah harus memberikan nama,” Mario, masih dalam keadaan panik, kini lari-lari di tempat tanpa alasan yang jelas. 
“Aku bertaruh dia tidak mendengarnya tadi.” 
Tepat sasaran. Bastian tidak memerhatikan hal tersebut. Seketika pikirannya dipenuhi oleh proyek sialan itu. 

www.meetlalaland.com - Bel Canto: Adagio

Langit sore itu masih tampak cerah, Karen yang telah menghabiskan empat jam di perpustakaan akhirnya menyerah dan menuntun sepedanya menuju apartemen. Ia mengubah pikiran dan membelokkan sepeda menuju West 56th Street setelah merasakan rasa perih dari perutnya. 

Classic Cheese Pizza, 8 inches. Takeaway, please.” 
Oh, I know you. Lo tinggal di kamar 420J, kan?” pertanyaan itu membuat Karen berpaling dari buku menu yang ia pegang. 
“Iya. Kok tau? Dari mana ya?” 
“Eh, santai aja kali. Kamar gue seberang kamar lo, nama gue Kiana. Dari Jakarta gue.” 
“Oh, hai. Gue Karen, dari Bandung udah lama tinggal di West 54th?” 
“Dari empat tahun yang lalu. Sebenernya pas lo pindahan kemarin gue pengen banget kenalan sama lo, cuma gak sempet mulu malah kenalannya disini deh,” Kiana tertawa dan melanjutkan, “bentar ya, gue buatin. Ada lagi?” 
“Udah itu aja. Thanks, ya.” Karen menuju kursi terdekat untuk menunggu pesanannya. Ia membuka iMessage dan mengirimkan sebuah pesan – 'lo utang cerita soal Gina sama gue' – kepada adiknya. Tidak lama Kiana datang bersama sebuah kotak pizza dan dua buah tumblr. 
“Vanilla Frozen Yoghurt Shake. Buat lo, gue abis gajian barusan,” Kiana memberikan kotak pizza dan salah satu tumblr berwarna hitam bertuliskan ‘Vanilla’s Inside.’ 
“Wow, makasih. Udah kelar shift lo? Mau balik bareng?” 

Karen dan Kiana banyak bercerita dalam perjalanan pulang dan ini yang didapatkan Karen; Kiana tinggal di kamar 421J, saat ini ia sedang menjalani tahun keduanya di Kellington College. Ia mengambil program kriminologi karena alasan sepele, “gue suka banget nonton Law and Order, terus gue pikir-pikir ya gak ada salahnya juga gue ambil major ini,” jelasnya. Dulu Kiana tinggal bersama kakak laki-lakinya, namun ia memilih pindah setelah kakaknya menikah musim panas empat tahun yang lalu. 

“Gue selalu kagum sama anak-anak Jefferson. Tiap kali gue lewat sekolah lo gue selalu pengen masuk – liat kalian latihan, recital di Lincoln Center. Selama gue disini, gue gak pernah punya kenalan dari Jefferson, gak taunya depan kamar gue anak teladan dari sana. Gila emang,” gelengan kepala Kiana menggerakkan antingnya yang menjuntai. 
Mendengar ucapan Kiana, seketika Karen teringat sesuatu yang mengganggu pikirannya seharian ini. “Lo mau besok kesana?” 

**** 

Bastian sudah tidak dapat menahan kantuknya lagi. Kantung mata yang hampir menutupi tulang pipinya yang tegas itu kini menjadi perhatian semua orang di The Café. Sudah lebih dari empat puluh jam ia tidak membiarkan matanya untuk istirahat – lagu yang ia kerjakan untuk Karen mengalami kebuntuan. 

Bastian telah mengetahui kemampuan Karen sejak tahun pertama. Saat itu ia mendengar suara humming yang keluar dari mulut Karen di sudut ruangan. Selama kelas berlangsung Bastian hanya memerhatikan Karen, diikuti dengan beberapa notasi yang telah membentuk sebuah chorus dalam kepalanya. Ia pun bertekad untuk menyelesaikan lagu tersebut dan membiarkan Karen untuk memilikinya. 

Seperti hari lain, antrean di kafetaria tersebut mengular hingga pintu masuk. The Café terkenal dengan kelezatan dan variasi hidangan yang ditawarkan – untuk pagi ini, disajikan French Bistro Buffet dengan menu andalan spinach quiché dengan limpahan keju Gruyére. 

Dari kursinya, Bastian melihat Karen menempel kartu mahasiswa untuk pembayaran makan paginya – ia membawa nampan dengan sepiring French toast, semangkuk buah-buahan segar, juga segelas orange juice – dan bersiap untuk berjalan menuju bangku halaman. Tanpa sadar Bastian meninggalkan mejanya untuk mengikuti gadis tersebut. 

“Hai,” sapanya ketika Karen sedang menggigit rotinya. 
“Halo. Ada apa ya?” 
“Boleh duduk disini?” 
“Boleh,” Karen menjawab canggung. Ia tampak familiar, pikirnya. 
“Begini. Aku Bastian, dari program Composition. Kau Karen, kan?” 
“Iya. Terus?” 
Do you already have, like a partner?” dan buru-buru menambahkan, “for the project, I mean.” 
Nope. Tunggu,” Karen berpikir sejenak kemudian menaruh pisau dan garpu di atas rotinya, melanjutkan, “kau mau menjadi partnerku?” tanyanya penuh semangat. 
Dalam hitungan detik, Bastian langsung jatuh hati melihat reaksi Karen. “Tentu. Aku lega kau mau menerima ajakanku. Maaf karena aku langsung memintamu, aku tidak punya kenalan lain,” Bastian menutupi alasan utamanya mengajak Karen, rasa malu masih menyelimutinya. 
“Aku tak akan menolaknya. Sekedar informasi, aku pun tidak punya teman selain dari programku. Jadi, mungkin ini takdir?” senyum lebar Karen meyakinkan Bastian jika ia telah membuat pilihan yang tepat. 
Yeah, probably.” Bastian tidak melepas hoodie dari kepalanya, ini dilakukan untuk menutupi telinganya yang memerah. “Jadi, kau sudah punya rencana? Sepertinya kau telah memiliki ide brilian.” 
“Aku juga berharap seperti itu. Jujur aku belum menyiapkan apapun. Tapi temanku akan datang kesini siang ini. Jika kau tidak keberatan, kau boleh ikut.” 
“Maksudmu, kau akan kasting temanmu itu? Apa dia sudah tahu tentang hal ini?” 
“Belum. Tapi aku yakin dia pasti menginginkannya.”
Hola! Dalam beberapa topik ke depan, mungkin aku bakal ngebahas soal rahasia-rahasia kecil yang dimiliki oleh indera kita. Aku emang tertarik banget-bangetan sama apapun yang berbau biologi dan anak-anaknya – well, my dream was being a doctor but reality hits me. Jadi, karena gak kesampean akhirnya aku belajar sendiri deh 😂 

Indera pertama yang bikin aku kepo setengah mati adalah olfactory sense atau indera penciuman. Sering kepikiran gak sih, kenapa tiap orang punya bau badan beda-beda? Atau kenapa aroma tertentu bisa ngingetin kita sama seseorang, situasi atau suatu kejadian? Disini aku bakal jelasin secara umum apa yang menjadi penyebab pertanyaan-pertanyaan itu timbul dalam pikiran kita. 

Secara singkat, bau merupakan molekul kecil yang terdapat di udara. Bau akan memasuki rongga hidung dimana terdapat reseptor yang dapat mengikat dan mendeteksi berbagai aroma – ada juga rambut halus dan silia yang sangat reseptif terhadap variasi molekul bau dan berperan sebagai ‘sapu’ terhadap kotoran yang masuk bersama udara – yang kemudian ditransmisikan menuju olfactory bulb. Sinyal yang diterima akan dikirimkan ke daerah otak terdekat dimana informasi bau dan rasa tercampur. 

Setiap orang memiliki susunan asam amino berbeda, dan setidaknya ada sekitar 400 reseptor penciuman yang kita miliki yang diantaranya terdapat 900.000 variasi genetik – dari sini kita bisa merasakan suatu aroma khusus yang dimiliki oleh diri kita masing-masing. Gak jarang juga kita nemuin suatu kondisi dimana bau yang kita sukai, malah menjadi salah satu aroma yang paling dihindari temen kita. Keadaan ini akhirnya dijelaskan dalam penelitian yang dilakukan oleh Matsunami. Ia menemukan bahwa setiap individu memiliki tingkat dan jumlah reseptor berbeda – ini berarti ketika kita mencium sesuatu, reseptor yang diaktifkan dalam diri kita bisa berbeda dengan reseptor yang diaktifkan pada sistem penciuman orang lain, tergantung pada gen kita masing-masing. Karena tiap orang punya jumlah reseptor yang berbeda, kapasitasnya pun berbeda. Misal aku punya lebih banyak reseptor buat bau hujan – yang berarti bisa mencium aroma ‘terkecil’ dari hujan – tapi gak menutup kemungkinan aku punya lebih sedikit reseptor pada aroma tertentu dibandingkan orang lain.



Menyambung penjelasan diatas, olfactory bulb memiliki koneksi langsung ke area hippocampus dan amygdala melalui thalamus, dimana kedua area ini sangat terlibat dalam aspek emosi dan kenangan. Herz dan rekannya dari Brown University membuktikan adanya korelasi antara intensitas emosional dari kenangan yang dipicu oleh penciuman dan aktivasi amygdala – bau yang memicu ingatan emosional yang kuat dapat meningkatkan aktivitas di area otak yang berkontribusi pada emosi dan ingatan. Aroma khas dari bayi yang baru lahir pun dapat mengaktifkan sirkuit neurological reward pada ibu yang berkaitan dengan penghargaan, sehingga dapat menciptakan hubungan emosional antara ibu dan anak. Keren banget gak sih? 😂 

Terus kenapa ya, suatu parfum bisa ngeluarin aroma berbeda padahal dipake sama orang yang sama? Kebanyakan produk parfum memiliki tiga bagian aroma yang akan dihasilkan ketika parfum menguap dari kulit kita. Pada 15 menit pertama setelah pengaplikasian, kita bakal mencium aroma top notes – biasanya cenderung ringan dan menghilang dengan cepat seperti bau sitrus. Middle notes akan muncul sekitar 2 jam setelah pemakaian pertama, karena senyawa yang digunakan membuat aroma tersebut menguap lebih lambat. Terakhir ada base notes, yang akan tetap ada pada kulit kita setelah 5 jam penyemprotan. Durasi ketahanan bahan kimia pada parfum yang bercampur dengan senyawa kimia yang dimiliki kulit kita seiring waktu akan berubah, tergantung oleh beberapa faktor seperti panas, kelembapan, keringat, obat-obatan yang kita konsumsi, jenis diet yang kita terapkan, lingkungan, hingga usia. Jadi, lebih baik untuk menguji parfum di kulit dan beri sedikit waktu agar aroma berkembang – bisa keliling department store, makan, atau nonton – sebelum akhirnya memutuskan untuk membelinya. 

But surprisingly, we can predict someone personality through their smell! Ini yang bikin aku nganga selama ngelakuin riset. Sorokowska dalam penelitiannya menemukan kalau beberapa kepribadian tertentu bisa diidentifikasi melalui bau badan mereka sendiri. Ia dan rekannya mengumpulkan sampel keringat dari 30 partisipan pria dan 30 partisipan wanita. Mereka – yang dilabeli sebagai donor bau – diminta untuk mengenakan kaus katun selama 3 hari berturut-turut, yang nantinya akan dinilai oleh 100 pria dan 100 wanita. Hasil tersebut akan dibandingkan dengan self-assessment yang dilakukan oleh donor bau. 

Mau tau hasilnya? Mereka menemukan adanya hubungan kuat antara bau badan dengan tiga tipe kepribadian; neuroticism, ekstraversi (ekstrovert), dan dominan. Neuroticism sendiri merupakan suatu kecenderungan untuk mengalami emosi-emosi negatif, salah satunya adalah kegelisahan atau depresi. 

Hormon serotonin berperan dalam pengendalian emosi negatif (neuroticism), sedangkan dopamin dianggap memiliki kaitan kuat dengan emosi positif (ekstraversi). Kedua hormon ini berkontribusi dalam produksi keringat. Dalam dimensi emosional, neuroticism dan ekstraversi dapat meningkatkan intensitas keringat dan memodifikasi bacterial flora di aksila (ada di sekitar ketiak) sehingga dapat menghasilkan bau badan tertentu. 

Untuk perilaku dominan dapat dipengaruhi oleh kenaikan kadar testosteron dan metabolitnya – hormon ini dapat merangsang kenaikan sebosit dan mempengaruhi fungsi kelenjar keringat apokrin. Sifat dominan mencerminkan kualitas genetik pria, sehingga hal ini berbanding lurus dengan tingginya tingkat testosteron. Jadi, bisa ditarik kesimpulan kalau tiga kepribadian ini bisa menghasilkan aroma tubuh yang lebih kuat dibandingkan sifat yang lain. 

Secara gak sadar ternyata berbagai aroma yang kita hirup dan kita miliki memberikan arti khusus dan indera penciuman kita ternyata bekerja SEHEBAT ITU! Gila sih tiap nemuin satu fakta baru pasti geleng-geleng kepalaku 😭 

Oh iya, sebenernya aku lagi ngerjain fiction project – ini salah satu alasan kenapa ada spare waktu yang lumayan panjang dari tiap posts lol – yang bakal aku tulis per chapter (and trust me, it will become a long series). Asli, untuk nulis fiksi bisa dibilang aku masih bener-bener ‘buta’ banget dan pasti keliatan pemulanya. Jadiiii, mohon dukungannya yaa dan sampe ketemu lagi di tulisan selanjutnya, buh-bye! 


Sources: 
Blumenrath, S. (2020, January 17th). How Taste and Smell Work 
Duke University. (2013, December 13th). No two people smell the same 
Griffiths, S. (2013, December 16th). How no two people have the same sense of smell: Tiny DNA difference determines someone finds an aroma delicious or disgusting 
Havlicek, J. et al., (2005). Women’s preference for dominant male odour: effects of menstrual cycle and relationship status. Biology Letters, 1(3), 256-259 
Herz, Rachel S., et al., (2004). Neuroimaging evidence for the emotional potency of odor-evoked memory. Neuropsychologia, 42(3), 371-378 
Kirkpatrick, K. (2012, September 17th). Why can one perfume produce different scents on the same person? 
Lundström, J. N., et al., (2013). Maternal status regulates cortical responses to the body odor of newborns. Frontiers in Psychology, 4 
Matsunami, H., et al. (2013). The missense of smell: functional variability in the human odorant receptor repertoire. Nature Neuroscience, 17(1), 114-120 
Sorokowska, A., et al., (2011). Does Personality Smell? Accuracy of Personality Assessments Based on Body Odour. European Journal of Personality, 26(5), 496-503

Instagram