December 31, 2020

Bel Canto: New York, New York

“Collin, ini Vivi dari program tari – Vi, ini Collin. Sepupuku.”
“Hai!” ia menjulurkan tangan, menampilkan barisan giginya yang rapi dari bibir tipisnya dan menempatkan tubuhnya disamping Bastian. “Lagi apa?”
“Lagu buat preliminary minggu depan. Kau tidak ada kelas sore ini?”
“Harusnya ada, tapi instrukturku berhalangan hadir jadi mungkin akan ada kelas pengganti malam nanti.”

Seperti biasa, Papa Gio setiap sorenya selalu dipenuhi oleh mahasiswa – jelas karena lokasinya berada di pusat kota dan dikelilingi oleh beberapa universitas dan perkantoran elite. Interior Papa Gio sendiri layaknya sebuah restoran Italia, didominasi oleh perabot kayu – meja, kursi, lantai, hingga peralatan makan – dengan dinding berwarna natural di satu sisi, dan sisi lainnya terdapat mural dari Città Sant’Angelo, salah satu kota di Abruzzo, Italia yang merupakan tempat kelahiran dari Papa Gio dan istrinya. Tampak sebuah pohon ek setinggi lima meter yang dikelilingi sejumlah table set dan sebuah panggung kecil pada area outdoor yang disediakan Papa Gio di tengah restorannya. 

Papa Gio sendiri telah mengelola restoran miliknya sejak 15 tahun silam, tepat setelah kelahiran putri bungsunya yang kini menempuh pendidikan di sekolah yang sama dengan Karen. Istrinya, Florence, sempat divonis memiliki tumor jinak pada payudaranya tahun lalu. Beruntunglah ia dapat bertarung melawan sakitnya dan sekarang kondisi fisiknya jauh lebih baik. Mereka sempat kewalahan untuk membiayai pengobatan Florence – inilah yang menyebabkan gaji Kiana tidak turun selama beberapa bulan – namun akhirnya mereka mendapatkan bantuan dari kedua anak tertuanya dan kini kondisi finansial mereka kembali stabil.

Buona sera, Kiana! Kau kesini menggantikan Joshua?”
“Halo, Papa,” ia mengambil celemeknya yang disangkutkan dekat meja kasir. “Ya, dia ada asistensi di kampusnya sampai jam 5 nanti. Ini temanku, Karen dan Barry.”
“Senang bertemu dengan kalian. Ia tidak pernah membawa siapapun kesini, sepertinya dia tidak memiliki teman.” Kiana melempar tatapan jengkel kepadanya, berusaha meredam emosi.
“Astaga, Gio. Berhentilah menggoda Kiana.” Florence kini membawa buku menu, mengantar Karen dan Barry ke salah satu meja di area outdoor. “Kiana sudah kami anggap sebagai anak kami sendiri, dan sikap Gio semakin menjengkelkan Kiana setiap harinya. Aku harap dia betah bekerja disini.”
“Dia menyukai pekerjaannya, Signora.” Karen meraih buku menu dan memberikan senyum khasnya kepada Florence.
“Panggil aku jika kalian butuh sesuatu,” ia melesat pergi menuju area dapur.
“Abis denger cerita Kiana, gue langsung suka sama mereka.”
They’re good people. Gue kayanya udah gak keitung deh makan disini.”

Tidak sampai setengah jam, pesanan mereka sudah ada di meja. Karen memesan chicken parmigiana – disajikan dengan saus pesto dan keju mozzarella diatasnya – dan red shrimp with Caesar salad yang ditemani parmesan frico untuk Barry.
“Bukannya lo bakal ada acara ya akhir bulan ini? Yang Jazz Annual itu kapan?” Karen membuka pembicaraan.
“Sabtu ini.”
“Dua hari lagi tapi kok lo kelar cepet hari ini?”
“Gue kasih semua kerjaan gue ke anak magang. Akhirnya setelah berbulan-bulan gak ada yang bisa disuruh, mereka dateng juga.”
“Gaji buta lo.”
“Sehari doang, Ker. Sensi amat,” Barry meneguk sparkling water, berpikir dan akhirnya bertanya, “lo bakal dateng?”
“Tergantung sih. Preliminary gue kan hari Senin, jadi gue harus liat kondisi dulu siapa tau gue harus latihan lagi sama anak-anak.” Karen melihat ada sedikit kekecewaan dari raut wajah Barry yang saat itu sedang mengalihkan pandangannya ke arah panggung. “Tapi gue bakal usahain buat dateng, kok. Gak ada dress code aneh-aneh kan?”
Barry mengubah pandangannya kembali, kini menghadap Karen. “Enggak lah, lo kira mau ke Oscars?” ia menambahkan tawa renyahnya. “Lo boleh ajak Kiana kok, atau yang lain. Gue yang bayar tiketnya.”
“Wow, ada apaan nih tiba-tiba lo jadi royal begini.”
Dari meja kasir, Kiana melihat pemandangan ini. Udah gak salah lagi, gue harus tanya Karen, pikirnya. Ia pun terdistraksi oleh pengunjung yang hendak membayar pesanannya.

Bel Canto: New York, New York

“Sepertinya dia menyukaimu,” Collin buka suara setelah terdiam sejak ia menyelesaikan santapannya.
“Maksudmu?”
“Perempuan tadi, ia menyukaimu. Kau belum sadar juga?”
“Vivi? Jangan asal bicara kau.”
“Begini, saudaraku.” Collin memperbaiki posisi duduknya. “Dari dia datang saja yang dia ajak bicara hanya kau, padahal disini ada aku yang jelas-jelas sudah berkenalan dengannya. Omong-omong, dia hanya menyapaku sekali tanpa bertanya barang cuaca sekalipun padaku.”
Bastian mengerutkan dahinya, kemudian tertawa. “Itu karena kau tidak memulai pembicaraan, Collin. Jika kau yang memulai, dia pun pasti akan menjawab.”
No, it’s nothing like that.” Collin bertanya dengan spontan, “kau menyukainya bukan? Atau ada perempuan lain yang kau sukai?”

Bastian menatap kosong ke layar laptop. Entahlah, sampai saat ini ia belum merasakan apapun pada Vivi – kecuali rasa kagumnya ketika pertama kali ia melihat Vivi menari di studio. Ini masih terlalu cepat, ia baru saja mengenalnya pagi tadi.

Beda halnya dengan Karen. Walaupun ia baru mengenalnya beberapa minggu terakhir secara resmi, namun rasanya ia telah lama memahaminya. Teringat kembali pembicaraan mereka di malam itu saat ia berjalan ke arah apartemen Karen, menemaninya pulang.
“Bagaimana akhirnya kau sampai disini?” tanya Bastian, berjalan menaiki tangga yang diikuti Karen menuju permukaan jalan.
“New York? Aku sudah di kota besar ini sejak SMA, sebelumnya aku tinggal bersama kakak ibuku di Princeton.”
“Kupikir kau baru saja pindah kesini tahun lalu.”
“Tidak. Aku sudah meninggalkan Indonesia dari usiaku 10 tahun. Force to the limit for the sake of my dreams.” Karen kembali memancarkan senyum sambil mengibaskan rambut hitamnya. “Bagaimana denganmu? Apa yang membuatmu dan Collin akhirnya kemari?”
“Ayahku meninggal awal tahun lalu. Cancer. Sepertinya kecil peluangnya bagi setiap penderita kanker stadium akhir untuk bertahan hidup dalam waktu yang lama.”
I’m sorry, Bas.”
That’s fine. Awalnya aku tidak memiliki keinginan untuk pergi. Toulouse adalah kota yang indah, aku dan Collin benar-benar menyukainya dan enggan untuk meninggalkan kota kami – itu sebutan konyol kita untuk Toulouse. Beda denganku, Collin dengan otak encernya mendapatkan beasiswa untuk bidang yang benar-benar ia minati.”
Don’t you like composing music?
I do. Tapi sampai sekarang aku belum melihat manfaat dari aku mengambil major ini. Aku menyukainya – namun aku tidak bisa melihat masa depanku dengan apa yang aku jalani sekarang. Kau tahu, terlalu banyak komposer brilian diluar sana.”
Karen mengambil napas panjang, berusaha untuk mengambil kesimpulan dari apa yang didengarnya. “Kau benar-benar harus membenahi jalan pikiranmu,” ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya. “Apa kau tidak pernah bahkan satu kali saja untuk mengapresiasi bakat yang kau miliki? Yang kau punya itu luar biasa, Bas. Caramu memilah dan menulis cerita, sampai mengaransemen untuk menjadi sebuah lagu selalu membuatku heran – can someone be this genius?
Bastian terdiam mendengar hal itu, ia tidak pernah berpikir untuk menghargai setiap karya yang telah ia buat. Ia akui jika ia telah membuat setidaknya ratusan lagu sejak ia duduk di bangku sekolah dasar, tapi ia tidak pernah menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang spesial.
Don’t be so hard on yourself. Tidak banyak komposer yang bisa konsisten dalam periode yang panjang. Aku harap kau memilikinya.”
I hope so.” Bastian mencari topik untuk melanjutkan pembicaraan. “Bagaimana dengan keluargamu? Apa mereka mendukung keputusanmu?”
“Orang tuaku tidak pernah ada di rumah – ayahku seorang pilot dan ibu bekerja sebagai konsultan perusahaan multinasional yang mengharuskannya untuk selalu bepergian. Mereka sepenuhnya percaya pada keputusanku, apa yang ingin aku lakukan untuk hidupku.”
“Kau punya saudara lain?”
“Satu adik perempuan, beda dua tahun denganku. Dia tinggal bersama nenekku di Indonesia. She’s an ignorant girl.
“Apa dia bisa bernyanyi juga sepertimu?”
“Dia bergabung dalam paduan suara di sekolahnya, jadi menurutku dia bisa bernyanyi.” Karen menunjukkan sebuah foto dari ponselnya, “namanya Sandra. Diambil saat aku pulang ke Indonesia dua tahun lalu.”
She looks just like you.” Bastian berusaha menyesuaikan matanya dengan layar ponsel. “Aku bisa mengatakan dia adikmu jika melihat mata dan hidungnya.”
“Ya, dia amat mirip denganku.” Karen memasukkan ponsel ke dalam tasnya, melanjutkan..

“Kau memikirkan perempuan lain rupanya.”
“Apa?”
You do have a girl crush.” Collin mengacungkan pisau dengan tangan kanannya. “Siapa perempuan yang ada dalam pikiranmu sekarang?”
“Tidak ada.” Bastian dikejutkan dengan getaran ponsel di saku celananya. Ia membuka pesan dari nomor tidak dikenal:

“Kau ada waktu kosong Sabtu ini?” -Vivi

“Lo udah ngabarin Bastian kita udah di studio?”
“Udah, belum bales. Masih makan kali mereka.” Tidak lama pintu studio terbuka, Bastian dan Collin masuk dengan membawa dua buah cup carrier – masing-masing berisi dua gelas Espresso – di tangannya.
“Oh, kita hanya membawa empat gelas.”
That’s okay.” Barry mengangkat tangannya, memperkenalkan diri. “Barry, salam kenal.”
“Bastian, dan ini Collin.”
“Dia Technical Director disini dan mengundang kita ke Jazz Annual Sabtu nanti. Kalian bisa ikut?” jelas Kiana. 
“Dengan senang hati.” Collin tidak pernah melewatkan acara musik Jefferson. Ia selalu hadir setiap tahunnya.
Cool. Kita langsung latihan ya?” Karen menghampiri sudut ruangan, mengambil segelas Espresso dan memberikannya ke Barry yang ia terima dengan senyuman hangat. 

Post a Comment

Instagram