November 12, 2020

Bel Canto: Pesona Kiana

“Dari mana saja kau?”
“Kalian sudah disini?”
“Kau tidak sadar sekarang jam berapa?”
“Aku menunggumu diluar perpustakaan dua puluh menit, Bastian. DUA PULUH MENIT! Kau lupa aku meneleponmu semalam? Omong-omong, kemana handphone sialanmu itu?” Suara Collin meninggi, ia berbicara dalam bahasa Perancis yang mungkin hanya yang berurusan saja yang paham.
“Maaf, lanjut aja ya? Udah sampai mana kalian?”
Overall, they’re good. Aku gak nyangka mereka bisa akting sebaik itu. Tinggal urusan vokal.”
“Ker, tolong ya. Gak ada nyanyi-nyanyian.” Kiana membuka bungkusan Lay’s varian Cheddar Jalapeño kesukaannya, tidak peduli dengan tatapan Mrs. Maurice, penjaga perpustakaan Jefferson.
“Kalian sudah punya lagunya?” berbeda dengan Kiana, Collin tampak antusias.
“Kalian coba dengar dulu demonya,” Bastian menyetel pemutar musik dan memberikan earphone kepada mereka.

Proyek mereka bisa dibilang sudah selesai hingga babak kedua, Bastian pun telah menyelesaikan seluruh lagu yang akan dibawakan mereka dengan Karen sebagai guide singer. Setiap harinya mereka melakukan rekaman dan Bastian telah menghasilkan lima buah lagu untuk preliminary nanti yang akan diadakan minggu depan.

“Astaga, Karen. Ini suaramu?”
“Kok bisa nyanyi bagiannya Collin?”
“Selebar itu vocal range dia. Aku juga sama kagetnya dengan kalian,” Bastian melihat Karen penuh arti. Kiana sama sekali tidak melewatkan hal kecil ini. 

Bastian tidak pernah bisa melupakan proses rekaman guide song yang mereka lakukan empat hari setelah merekrut Kiana dan Collin. Saat itu, untuk pertama kalinya Karen menaki subway menuju studio rekaman milik Bastian – ban sepeda biru langitnya kempis akibat melindas paku di depan bangunan rekonstruksi hotel dekat Jefferson.

“Oke, sampai dimana kita?” tanya Karen saat itu begitu ia melemparkan tubuhnya di sofa.
Alright, so this is the guide songs I’ve made so far. Baru lima lagu sih.”
“Baru lima lagu kau bilang? Bagaimana kau bisa secepat itu? Be proud of yourself.

Karen memasang headphone yang Bastian berikan padanya. Baru kali ini Bastian tidak dapat membaca ekspresi Karen, yang biasanya selalu ekspresif dalam hal kecil sekalipun. Tidak sanggup melihat wajah Karen, Bastian pun akhirnya menyibukkan diri mengatur audio amplifier didepannya.

“Bas?” Karen memanggil Bastian tujuh belas menit kemudian.
“Gimana? Ada yang kurang?”
This is great, I mean it. Aku gak ngerti kenapa kau bisa se-gak-pede itu sama kemampuanmu.” Karen hanya bisa menggelengkan kepalanya, takjub dengan apa yang telah Bastian lakukan untuk kelima lagu tersebut. Mendengarnya langsung dari Karen membuat Bastian semakin ingin menyelesaikan lagu untuk Karen.
“Tapi kalau aku boleh saran, judulnya gak cocok. Apalagi untuk tiga lagu ini,” ia berdiri menghampiri Bastian, menyerahkan tiga lembar musik padanya.
“Aku setuju. Jujur aku kesulitan menentukan judul untuk tiga lagu ini.”
“Kenapa? Kelihatannya kau lebih mendalami lagu-lagu ini. Aku melihat keseriusanmu disini.” Karen mengangkat sebuah lembar musik, dengan coretan ‘At This Moment’ sebagai judulnya.
“Semakin terlibat dalam sebuah lagu, aku semakin tidak bisa menentukan judulnya.” 
Interesting. Untuk yang satu ini aku merekomendasikan ini,” Karen menuliskan sarannya pada lembar musik, mengganti judul menjadi ‘Cigars.’ “Aku pribadi ingin setiap lagu benar-benar menggambarkan tiap adegan dari role play kita – judulmu sebelumnya menunjukkan ambiguitas.”

Setiap menitnya Bastian menikmati kebersamaannya dengan Karen. Ia tidak percaya jika Karen memiliki indera yang kuat untuk setiap elemen dari kelima lagu tersebut, tapi Karen tidak pernah menginginkan untuk mengubah aransemen. Ia ingin menjaga orisinalitas dan ciri Bastian.

Shall we start? Ada yang ingin kau ubah lagi?”
Nope, it’s all good now. Gila aku deg-degan setengah mati untuk rekaman hari ini.” Karen melangkah memasuki isolation booth, mencoba untuk menenangkan diri dengan membuka tumblr pemberian Kiana, meminum air putih yang ia bawa dari apartemennya.

Lagu pertama memiliki aliran folk pop dengan judul ‘Smoke and Mirrors.’ Lagu ini akan dinyanyikan oleh Kiana – mereka benar-benar memiliki harapan penuh padanya. Dengan nuansa mistis lagu ini akan dibawakan Kiana pada second stage, dimana Kiana akan menyebarkan rumor dari kota kecil yang mereka tinggali.

Rekaman hari itu berlangsung cepat tanpa hambatan. Karen melakukannya dalam satu kali pengambilan, tanpa cela. Andai Bastian menyampaikan isi hatinya..


“Gimana? Kalian bisa, ya? Minggu depan kita udah preliminary soalnya,” suara Karen memecahkan lamunan Bastian.
Please, Ker. Don’t let me sing.
“Ki, lu pasti bisa. Percaya sama gue.”
“Jadi dua lagu ini untukku?” Collin mengambil dua lembar musik dari tangan Bastian.
“Yep. Kau akan bernyanyi secara solo.”
No duet?
Not today,” Bastian ingin melihat kemampuan Collin lebih dulu sebelum akhirnya memercayakan format tersebut.
“Kalian ada kelas hari ini?”
“Aku gak ada. Tapi aku harus ke Papa Gio jam empat nanti.”
“Sampai jam berapa?”
“Aku mengisi shift temanku, dia ada asistensi dari kampusnya. Aku hanya menggantikannya sampai jam lima.”
Well I’m free, by the way,” Collin akhirnya mengambil segenggam keripik kentang milik Kiana setelah sekian lama mengamatinya.
“Langung ke studio aja kali ya?”

Mereka berjalan ke arah barat perpustakaan menuju Stockholm Drama Studio, ruang latihan andalan milik fakultas Performing Arts. Studio ini tidak memiliki kursi, namun luasnya hampir lima kali dimensi ruang kelas biasa. Sepanjang dindingnya memiliki cermin yang menempel pada ketiga sisi ruangan. Terdapat empat buah lampu gantung minimalis di setiap sudut, sebuah piano, dua buah gitar akustik, dan sebuah papan tulis berjalan dekat pintu masuk.

“Kita coba nyanyi dulu?” tanya Collin penuh semangat, melempar long coat dan ranselnya tepat dihadapannya. 
“Boleh. Siapa dulu?”
I’ll go first,” tanpa disangka Kiana menawarkan diri. “Gue pengen cepet beres. Bisa jantungan gue dinanti-nanti,” bisiknya pada Karen. Kiana melakukan pemanasan dan menarik napas panjang, berusaha setengah mati untuk menutupi rasa gugupnya.

Diantara tiga lagu yang Karen berikan, Kiana memilih ‘Fair-weather Friend’ – ditulis Bastian saat ia menunggu subway menuju rumah pamannya. Saat itu ia melihat dua remaja bergosip didepannya dan tanpa sengaja mendengar pembicaraan mereka. Ia menjadikannya sebuah lagu beraliran baroque pop berdurasi tiga menit lima detik. Bastian masih sangat ragu untuk memberikannya pada Kiana mengingat lagu ini memiliki jangkauan nada yang cukup rendah dibandingkan lagu lainnya.

Namun keraguannya hilang saat Kiana menyanyikan bagian intro. Suara Kiana terdengar sangat cocok dengan karakter lagu yang dibawakan, walaupun ia belum terasa lepas dalam menyanyikannya. Karen, yang diminta Kiana untuk selalu berdiri disampingnya, tidak dapat menutup mulut – ia benar-benar tidak mengetahui kemampuan temannya yang satu itu. Collin pun tidak dapat mempercayai telinganya. 

“Ki, gue beneran bakal hajar lo,” Karen teringat janjinya tempo hari, melayangkan tatapan kagumnya pada Kiana tepat setelah ia menyelesaikan lagunya. 
“Wow, Kiana. You blew me away,” Collin mengangkat tangan, menunggu balasan Kiana.
“Aku gak sebagus itu ya.”
“Karen, kau membawa orang yang benar-benar cocok dengan perannya. Aku tidak sabar mendengarnya membawakan lagu yang lain.”
“Kau tahu? Suaramu amat mirip dengan Monroe dan Del Rey.”
“Ya ampun, Collin. Kau sepemikiran denganku.”
“Oke, cukup dengan Kiana. Sekarang giliranmu.” Bastian memberikan secarik kertas dengan tulisan ‘Extra Miles’ diatasnya.

Collin memiliki suara yang manis, berbanding terbalik dengan penampilannya yang cool. Walaupun memiliki jangkauan vokal yang sempit, ia dapat mengakalinya dengan mudah. Melihat Collin, Bastian langsung mengambil laptop dari tas punggungnya dan membuka GarageBand. Ia mendapatkan inspirasi.

“Karen, mereka harus duet.”
I couldn’t agree more.

****

“Gue penasaran dari tadi. Lo gak pede atau lo emang humble bragging kalau buat urusan nyanyi?” Karen berjalan di depan Kiana, keluar area kampus. Ia menawarkan diri untuk menunggu Kiana di Papa Gio setelah keempatnya sepakat untuk memiliki ‘waktu istirahat’ sebelum akhirnya berkumpul kembali jam enam nanti.
“Yang pertama. Karena gue emang ngerasa gak bisa nyanyi.”
“Jadi lo gak pernah nyanyi di depan siapapun? Temen-temen SMA lo? Cowok lo? Bokap nyokap lo?”
“Seinget gue kalau karaoke doang. Lo tau lah, kalau karaoke hype-nya bakal gimana dan yang pasti gue gak pernah serius selama karaoke.”
“Gila ya, lo? Harusnya di kesempatan itu lo tunjukkin suara lo,” Karen berjalan moonwalking, memberikan pandangannya terhadap kemampuan Kiana. “Asal lo tau ya, suara lo tuh unik. Mungkin dari sepuluh orang, cuma ada dua orang dengan suara kaya lo yang bener-bener ngerti cara makenya – dan lo salah satunya! Bisa-bisanya kemarin lo bilang..” ia terhenti ketika Barry sengaja menempatkan tubuh tegapnya di belakang Karen. Intensinya berhasil untuk menarik perhatian Karen.
“Dimana-mana lo bawel kaya gini ya? Gue kira pas sama gue doang.” Berbeda dengan hari lainnya, Barry tampak menarik di mata Karen saat itu. Semilir angin di akhir Oktober tidak cukup untuk membuat Barry mengenakan baju tebal – ia hanya memakai kaos putih polos yang dilapisi kemeja denim dan dilengkapi oleh khaki cargo pants. Bahkan Chelsea boots yang sering ia pakai terlihat berbeda hari itu. 
“Ber! Mau kemana lo?”
“Balik gue. Finally, gue bisa kelar cepet.”
“Nah, kebeneran nih. Gue kan ada shift sekarang, tapi ini bocah batu banget pengen nemenin gue sampe gue kelar. Lo mau temenin dia kan? Cuma nyampe jam lima kok, abis itu kita balik lagi kesini.”
“Balik kesini lagi? Ngapain?”
“Latihan. Udah H-7 soalnya,” Karen akhirnya menemukan suaranya kembali.
“Oke. Tapi gue ikut sampe kalian selesai latihan ya? Kapan lagi gue ada waktu kosong kaya gini.” Barry memperbaiki posisi ranselnya dan mempersilakan kedua gadis tersebut berjalan dihadapannya.

Collin yang sudah menahan lapar sejak pagi tadi, terlihat kalap sesaat ia berdiri di depan counter The Café – beruntunglah tidak banyak mahasiswa yang mengantri pada jam tersebut. Sepuluh menit kebingungan menentukan menu, akhirnya ia membawa chicken marsala, raspberry vinaigrette, baked sweet potatoes dan assorted pies sebagai makanan penutup di atas nampannya.
“Kapan lagi aku bisa makan disini.”
“Aku masih butuh bantuanmu sampai semester depan.”
Whatever.” Ia menyuap sepotong ayam yang telah ia celupkan pada saus vinaigrette ke dalam mulutnya. Wajahnya menunjukkan kemarahan. “Ini benar-benar enak sampai membuatku kesal.” Bastian tersenyum, sudah lama ia memimpikan untuk memiliki waktu santai bersama Collin. Terakhir kali ia memiliki kesempatan itu saat mereka berdua masih tinggal bersebelahan di pinggiran kota Toulouse.
“Bagaimana kau bisa kenal dengan Karen? Bukankah dia beda program denganmu?”
“Kita ada di kelas yang sama, makanya kita ada tugas ini. Don’t you get it?
Wow, easy. I’m just asking.” Collin memotong kentangnya dan melanjutkan, “she’s great, you know.
She is,” dan Bastian teringat kembali dengan pembicaraannya dengan Karen sepulang rekaman guide song hari itu. Bastian menemaninya pulang ke apartemen Karen, mengingat jarak antara studio dan tempat tinggalnya sejauh enam blok dan proses rekaman selesai hampir tengah malam.

“Lulus dari Jefferson, apa yang akan kau lakukan?”
“Dari dulu mimpi aku cuma satu – tinggal di Vienna dan punya karir disana. Terdengar sulit tapi aku benar-benar menginginkannya.” Tampak kepercayaan diri dari mata Karen – sudah seharusnya dia yakin dengan kemampuannya yang luar biasa itu, pikir Bastian. “Akan sangat menyenangkan bisa bekerja sama dengan musisi dunia dan penyanyi opera yang aku idolakan disana.”
“Jadi tepat setelah kelulusanmu, kau akan terbang kesana.”
Sounds like it. Lagian urusanku disini pasti sudah selesai juga, kenapa harus ditunda?” Bastian mengangguk setuju, sekali lagi kagum dengan Karen yang telah memiliki rencana hidup yang terstruktur. Mereka terdiam. Hanya ada mereka berdua dan seorang wanita berusia 30-an di gerbong itu. Gesekan rel dengan roda subway dan gertakan antar-gerbong mengisi keheningan mereka.
Well, I’ll come with you,” entah dalam keadaan sadar atau tidak, Bastian mengucapkan hal itu. Karen seketika menengok ke arah Bastian, ucapannya berhasil memecahkan perhatian Karen yang sejak lima menit lalu hanya membaca poster yang tertempel di salah satu pintu gerbong. 
“Maksudmu?”
“Setelah mendengarmu, aku tiba-tiba ingin melakukan sesuatu di luar zona nyamanku. Selama ini aku tidak memiliki tujuan dan hanya melakukan yang bisa aku lakukan, tanpa melakukan perencanaan. Mungkin dengan keluar dari ‘duniaku’ dan mencoba sesuatu yang baru akhirnya aku bisa menemukan diriku yang sebenarnya,” Bastian menoleh, menatap langsung ke dalam mata Karen. “Bisa dibilang aku terinspirasi olehmu.”
Karen tersenyum lebar, untuk kesekian kalinya melemahkan denyut jantung Bastian. “Oke.” Satu kata itu yang akhirnya terus melayang dalam pikiran Bastian sampai sekarang.

“Hai. Boleh gabung?” suara ramah seorang perempuan datang dari kejauhan. Bastian mengangguk padanya.

Post a Comment

Instagram