August 20, 2020

Bel Canto: Adagio

Seperti dugaan Bastian, kelas Lyric Studies hanya berdurasi 15 menit yang diisi oleh penugasan yang sama dengan kelas Ear Training. Karen mendapat dua panggilan dari Kiana sejak kelas berlangsung, ia segera menelepon Kiana kembali dan memastikan keberadaannya. Bastian memberikan isyarat tangan pada Karen untuk meninggalkan kelas dan menemui Kiana lebih dulu.

Karen mendapatkan Kiana sedang berdiri di lobi utama. Ia berdiri menghadap akuarium besar dengan mulut terbuka lebar. Akuarium di lobi utama Jefferson memang selalu menarik perhatian banyak orang; memiliki ukuran 10x12 meter, biota laut dari berbagai belahan dunia, hiasan dan pencahayaan yang dekoratif, dan dilatarbelakangi oleh video hasil karya mahasiswa Visual Arts berkonsep ilusi optik seakan mengikuti tarian ikan-ikan disana.

“Mingkem woy.”
“Gokil. Ini gimana buatnya ya?”
“Pake nanya ke gue, mana ngertilah. Lo udah makan?”
“Belum. Katanya kafe disini enak ya?”
You’ll see. Ayo.”

Terlihat Bastian telah memesan Bento Box dan duduk di meja 18. Matanya memaku di hadapan layar laptop untuk mengerjakan aransemen yang akan dinyanyikan Karen pada proyek kolaborasi mereka – dalam waktu satu hari, ia telah mengerjakan dua buah lagu bertempo cepat.

“Suka Asian food? Eh gak nyangka loh,” Karen menaruh tas sandangnya di atas meja. “Nih orangnya, what do you think?”
“Hai. Kiana.”
“Bastian. Oke kok, cocok sama yang ada di bayanganku.”
“Cocok apaan nih?”
“Oh, oke. Jadi, di tahun kedua ini kita akan mengadakan role play buat proyek tahunan kita. Singkatnya, sekarang kau kita kasting buat jadi salah satu pemerannya.” Ada hening yang panjang disana.
“Ki?” Karen menjetikkan jarinya di depan mata Kiana.
“Lo beneran kasting gue buat proyek sebesar itu?” mata belo Kiana bergetar setiap detiknya.
“Serius. Lo gak usah worry sampe segitunya, beneran deh. Bisa enggaknya lo akting gak bakal ngaruh ke penilaian. Instructor gue cuma nilai kita berdua doang,” Karen berusaha meyakinkan Kiana. Tampak Bastian kebingungan melihat mereka berbicara dalam bahasa Indonesia – ia hanya memahami kata worry, dan instructor – dan berusaha menebak arah pembicaraan.
“I’m not worry about it, I’m just too excited!”
Bastian yang sejak tadi hanya melongo, akhirnya bisa menangkap apa yang mereka bicarakan. “Baguslah kalau begitu,” sambung Bastian. “Apa kau ada waktu kosong minggu ini?”
“Aku bekerja setiap hari Senin, Selasa dan Kamis. Sisanya aku kosong.”
“Jadwal kuliahmu?”
“Jangan khawatir. Kellington punya jadwal kuliah sama persis dengan jadwal sekolah dasar. Omong-omong, aku jadi apa ya?”

Pada hari kedua orientasi mahasiswa, Vivi wajib memberikan formulir ketidaksediannya untuk menetap di asrama. Ia tidak ingin tinggal satu ruangan dengan orang yang belum pernah ia kenal sebelumnya, terlebih ia merasa superior terhadap mahasiswa yang ia anggap berada ‘dibawahnya’. Ia berjalan ke arah kantor administrasi setelah menyelesaikan tugas kelompok dengan peta kampus di tangan. Ia menghentikan langkah ketika meilhat sebuah bayangan tinggi di depannya.

“Lagi cari apa? Ada yang bisa saya bantu?” Barry, sang pemilik bayangan, bertanya.
“Maaf, aku sedikit bingung. Aku harus menyerahkan formulir ini kemana ya? Kampus ini terlalu besar, dari tadi aku selalu kembali ke tempat yang sama,” ia beralasan sambil memelintir rambut panjangnya.
“Oh, kau mahasiswa baru? Kantor administrasi memang agak jauh dan harus memutari kampus. Biar aku temani.”
“I’m Vivi, by the way.”
“Barry. Senang bertemu denganmu.”

Untuk menuju kesana, mereka harus melewati dua gedung fakultas dan melintasi taman utama. Fakultas Fine Arts memiliki arsitektur yang klasik dibandingkan Applied Arts yang lebih mengedepankan estetika dan modernisasi. Kedua fakultas ini kerap berlomba dalam meraih penghargaan – anugerah terakhir diperoleh Emilia Floramaria, mahasiswi keturunan Spanyol-Kuba yang memenangkan hadiah utama pada Graduate Fashion Week bulan lalu – dan memajangnya dengan konsep masing-masing. Selama mereka menyusuri tiap koridor, Vivi tidak lepas menatap Barry yang sibuk dengan telepon pintarnya. Tanpa pikir panjang, ia memulai pembicaraan.

“Kau mahasiswa sini?”
“Alumni. Sekarang jadi Technical Director.”
“Benarkah? Kau pasti lulusan terbaik, tidak heran kau dipercaya untuk pekerjaan sepenting itu.”
“Tidak juga.”
“Dulu dari program apa?”
“Playwriting.”
“Lulus kapan?”
“Dua tahun yang lalu.”
“Serius? Aku pikir kau baru….”
“Ini kantor administrasinya. Kau bisa memberikan formulir ini kepada petugas disana dan menunggu sekitar 15 menit. Saya duluan.”
“Oh, terima kasih.” Ekspresi riangnya seketika berubah drastis. Ia tidak mengharapkan percakapan dingin barusan. Senyumnya kembali terpasang saat dua lelaki dari program yang sama mengajaknya menemui petugas dormitori.

****

“Ini gila. Setiap hari ini yang lo lakuin?” Kiana melemparkan dirinya diatas kasur, berusaha mengumpulkan energi dan pikiran setelah lebih dari seminggu ia latihan bersama Karen.
“Yoi. Kan lo kemarin gak nolak.”
“Ya tapi gue gak ngira bakal segininya.”
“Lo belum latihan vokal, loh.”
Holy! Bisa gak khusus bagian gue di skip aja nyanyinya? Gue gak bisa.”
“Kan gue udah bilang, yang lo tampilin gak bakal ngaruh ke nilai gue.”
“Bukan itu masalahnya. Gue. Gak. Bisa. Nyanyi.”
“Sampe gue denger suara lo bagus, gue hajar lo.”
“Ya dibanding elo sama teman-teman lo gue gak ada apa-apanyalah.”
“Semua orang bisa nyanyi, tinggal gimana caranya mereka make teknik yang sesuai sama kemampuan suara mereka.”
Oh, look who’s talking.” Kiana bergegas menuju pintu ketika interkom bersuara: Jongro’s here.
“Eh, kerjaan lo gimana Ki? Aman? Nih, piringnya.”
“Papa Gio gak masalah, sih. Yang masalah duitnya.”
“Napa?”
“Gak turun-turun. Udah telat dua minggu.”
“Hamil kali dia.”
“Ha-ha,” Kiana menyuap sepotong daging marinasi besar ke dalam mulutnya. “Ker, gue boleh nanya gak?”
“Apaan?”

www.meetlalaland.com - cerita fiksi penyanyi opera

Interkom kembali berbunyi, namun kali ini tak ada suara apapun. Karen menghampiri pintu dan membuka akses, menunggu hingga tamu mengetuk pintu kamarnya. Kiana yang masih terus mengunyah mengintip ke arah Karen berdiri.

“Lama ya gue? Biasa, ada rapat dadakan.”
“Alesan lo. Kita baru makan nih, lo udah makan malem?”
“Belom. Asik deh, tiap kesini lo pasti lagi makan,” secara natural Barry memberikan dua tangkai bunga gerbera putih pada Karen.
“Eh, siapa nih? Kok Indo juga? Kenal dari mana lo?”
“Oh iya, gue lupa ngasih tau lo. Ini Barry, dia tukang panggungnya Jefferson.”
“Sembarangan lo. Technical Director ya gue.. siapa namanya?”
“Ah,” Kiana mengelap tangan ke celana tidur pendeknya, mencoba meraih tangan Barry. “Kiana, anak depan kamar.”
“Calon polisi dia.”
“Eh iya?”
“Kriminolog. Beda ya, sama polisi. Enak banget lo ganti profesi orang,” Kiana melempar daun selada yang tadinya ingin dijadikan sebagai bungkusan kepada Karen.
“Lagi girls night lo berdua? Atau jangan-jangan..”
“Lagi latihan kita, buat preliminary gue.”
“Masa? Lo bisa nyanyi, Ki?”
“Semua orang bisa nyanyi, tinggal gimana caranya mereka make teknik yang sesuai sama kemampuan suara mereka,” mengulang perkataan Karen barusan dan melirik ke arahnya.
“Keren loh. Jarang banget ada anak luar yang bisa ikutan.”
“Koreksi – baru pertama kali ditugasin proyek beginian, thanks to your best friend, Cecil.”
“Cuma dia doang yang dari luar? Sisanya?”
“Dua orang. Satu lagi dari NYU, sepupunya Bastian. Empat orang lagi anak filmmaking, sama conceptual art.”
“Bisa dapet juga lo akhirnya.”
“Usaha Bastian semua itu. Dia banyak kenalan dari fakultas lain.”

Ia melirik jam tangan – pukul delapan malam. Akhirnya aku bisa pulang lebih awal, pikirnya. Bastian berjalan menuju stasiun terdekat, menaiki subway dan duduk dekat pintu. Tidak sampai tujuh menit, ia sudah sampai tujuan. Berjarak lima ratus meter dari stasiun terdapat sebuah apartemen dua puluh lantai dengan pintu masuk satin silver penuh kesan mewah. Bastian mengeluarkan kartu identitas pada petugas keamanan, berjalan cepat ke arah lift dan memencet tombol empat belas.

Bastian menempel kartu pada RFID, melepas sepatu ketsnya setelah membuka pintu dan meletakkannya pada lemari putih yang berukuran hampir sepanjang foyer apartemennya. Ia berjalan menuju dapur dan membuka kulkas, mencari barang sebuah apel untuk disantap sebagai makan malam. Sambil menggigit buah tersebut Bastian mengeluarkan laptop dan menempatkannya diatas meja belajar, berencana untuk melanjutkan lagu untuk Karen. Namun mata yang hanya bisa membuka setengah dari diameter aslinya, membuat Bastian untuk langsung merebahkan punggung pada kasur. Baru saja ia hendak memejamkan matanya, Collin – salah satu sepupunya yang beruntung – menelepon.

“Aku harus latihan kesana? Jam berapa kau ada di Jefferson?”
“Dari jam delapan aku sudah duduk manis di perpustakaan. Terserah kau mau datang jam berapa.” Tanpa menunggu jawaban dari Collin, Bastian menutup konversasi tersebut dan langsung tertidur.

****

Collin yang sejak tadi menunggu di depan perpustakaan, kini memainkan jubah panjang yang menutupi hingga lututnya. Hampir dua puluh menit ia menunggu dan dua belas kali menelepon sepupu tertuanya, yang ia dapatkan hanya jawaban dari operator untuk menghubungi kembali. Dari kejauhan, Karen dan Kiana melihat sosok tersebut yang kini menghentakkan kakinya karena merasa kedinginan.

“Collin, ya?”
“Iya. Salah satu dari kalian pasti Karen.”
“Dia Karen, aku Kiana,” Kiana memberikan segelas hot Americano pada Collin, beruntung mereka membelinya di tengah perjalanan. “Kau menunggu Bastian?”
“Iya. Sudah dua puluh menit aku disini, aku tidak punya akses masuk. Aku meneleponnya juga tidak dijawab.”
“Ampun, bener-bener ya. Aku harus memberinya pelajaran nanti.” Karen menggandeng tangan Collin yang sudah gemetaran untuk masuk bersama.

Sejak jam tujuh pagi Bastian memaku di depan Kennedy Drama Theater, menunggu salah satu temannya yang berniat untuk mengembalikan memori eksternal yang dipinjam sejak akhir semester lalu. Ia mengutuk dirinya setiap menit karena lupa mengisi daya telepon genggamnya. Pukul delapan lewat empat puluh menit barulah temannya datang, memberikan yang ia pinjam, dan melesat pergi untuk mengikuti kelas.

Bastian menuruni tangga dengan santai, ia berpikir Collin pun tidak akan datang secepat itu – ia terlanjur sakit hati menjadi orang yang selalu tepat waktu. Ia menginjak tangga terakhir ketika lagu dari Tchaikovsky terdengar dari studio tari yang tidak jauh dari sana.

Madeleine Dance Studio merupakan salah satu studio tari terbesar di Jefferson; memiliki luas 1.800 m2 dengan eksterior kaca yang bahkan memungkinkan pejalan kaki menyaksikan seluruh kegiatan didalamnya. Bastian melihat punggung perempuan dengan gelungan rambut pirang menari dengan ringan. Tanpa sadar kakinya telah membawanya masuk ke dalam studio.

“Halo,” perempuan itu menghentikan tarian.
“Yang kau lakukan barusan itu menakjubkan.”
Adagio maksudmu?”
“Istilah itu ada juga di balet?”
“Kau lupa asal balet dari mana?”
“Ah, iya.” Bastian menundukkan kepala dan berjalan keluar menuju pintu. Rasa ingin tahu kembali menggiringnya masuk. “Kau mahasiswa baru?”
“Iya. Aku Vivi.”
“Bastian.”
“Setiap pagi aku selalu latihan disini, jika kau penasaran.” Vivi mengambil sesuatu dalam tasnya, mendekati Bastian dan menulis nomor telepon pada lengannya, “kau boleh menghubungiku untuk memastikan.”
“Oke. Sampai jumpa besok.”

Dengan langkah ringan Bastian keluar dari studio. Ia hendak mengambil ponselnya ketika teringat jika ia melewatkan sesuatu – Collin.

Post a Comment

Instagram