July 21, 2020

Bel Canto: Proyek Kolaborasi

Akhir libur musim panas kali ini ditutup dengan satu kata – frustasi. Bagaimana tidak, di saat mahasiswa lain masih santai pada tahun pertamanya, Karen harus menyerahkan setidaknya empat manuskrip untuk empat subjek berbeda. Ia pun terpaksa untuk menghentikan kontraknya sebagai pekerja paruh waktu di salah satu toko ritel dekat apartemennya. 

Panas matahari saat itu masih menyengat, memberi isyarat kalau ia masih ingin bertengger disana setidaknya sampai akhir bulan Agustus ini. Karen yang telah menyelesaikan tahun pertamanya tengah bersiap memasuki semester baru. Ia mengayuh sepeda tuanya menuju Jefferson dengan peluh di sekitar hidung mungilnya. 

Jefferson merupakan institut seni bergengsi di dunia – berlokasi di salah satu distrik tersibuk di New York yang menjadi impian bagi semua pekerja seni. Setiap tahunnya Jefferson melahirkan banyak seniman, terutama Performing Arts yang merupakan fakultas unggulan dari konservatori ini. 

Karen mendapatkan beasiswa penuh untuk program yang diambilnya, Vocal Arts. Ia menjadi satu-satunya kandidat yang berhasil mendapatkan “keajaiban” ini sejak Jefferson memberikan danasiswa untuk seorang pianis asal Kolombia lima tahun yang lalu. Karen merupakan salah satu soprano terbaik dengan vocal range yang sangat lebar, maka amat disayangkan jika Jefferson melewatkan bakat langka tersebut. 

“Lo gak perlu ngontak gue kalau lagi sibuk,” jawab seorang gadis di ujung telepon. Sudah menjadi kebiasaan Karen untuk mengontak adiknya sesaat setelah ia memarkirkan sepeda. 
“Gak sibuk gue, sok tau lo.” Karen melanjutkan, “Lagi dimana sekarang?” 
“Baru balik les lah, mana lagi. Gue gak bisa bolos kaya dulu lagi ya sekarang, udah kelas tiga.” 
“Sadar juga lo akhirnya.” 
“Lo masih pake sepeda butut itu, kak? Batu banget sih, naik subway kan bisa. Lo udah dandan cakep ke kampus terus naik sepeda ya percuma, luntur lagi. Aneh.” 
“Sayang, San. Kalau diitung-itung, duit buat transport selama gue sekolah disini bisa gue tabung buat gue….” 
“…. hidup di Wina,” potong Sandra. Dia sudah paham betul jalan pikiran kakaknya yang satu itu. “Tapi kan gak ada salahnya buat naik subway sekali-kali. Lo gak punya trauma juga. Jadi orang jangan terlalu ngirit, ntar kuburannya sempit.” 
“Omongan lo ya! Bener-bener deh.” 
“Eh, udah ya. Gue mau mandi, terus tidur. Capek banget gue seharian ngintilin Gina.” 
“Tunggu, tunggu. Lo bilang tadi pulang kelar les, ngapain lo ngikutin Gina? Lo bo’ong ya? Gina kenapa emang?” 
“Duh, gue beneran les kok tapi gak sampe kelar. Ntar ya gue ceritanya, badan gue udah gatel-gatel. Bye.” Sandra langsung menutup telepon agar terhindar dari interogasi Karen. 

Karen langsung menuju toilet setelah pembicaraannya dengan Sandra berakhir. Ia menguncir ulang rambut hitamnya yang tebal dan mengganti pakaian dengan mini dress berbahan katun dengan motif garis-garis. Setiap hari ia selalu menggunakan setelan casual sport yang nyaman digunakan saat ia bersepeda menuju Jefferson lalu menggantinya dengan pakaian yang lebih “layak” – rapi dan tidak dipenuhi keringat. 

How’s your summer?” tanya Amber, teman sekelasnya. 
It’s exhausting. All the manuscript makes me fatigue every single day. Yours?” 
Same. At least I’m still alive ‘til now.” 
But you still look good though. Oh, by the way, have you seen Barry around? Susah banget buat ngontakkin dia belakangan ini.” 
Nope. Bentar deh, kalian sebenernya ada apa sih? Perasaan aku aja, atau kalian emang beneran sedeket itu?” 
“Gak ada apa-apa ya, karena sekampung jadi ya lebih nyambung,” Karen menjawab sambil menyemprotkan parfum di pergelangan tangannya. 
“Oke kalau emang bener kaya gitu. Yang aku tau Barry sekarang lagi sibuk sama Jazz Annual Performance. Aku sering liat dia bareng sama Keane.” 
“Oh iya? Kapan ya acaranya?” 
“Minggu terakhir bulan Oktober, bareng sama preliminary kita.” 

Karen mengangguk dan mengikuti langkah Amber menuju kelas. Dalam hening ia berpikir keras, bertanya dalam hati – apa dia sesibuk itu ya sampai lupa ngabarin aku? – dan tanpa sadar ia hampir menabrak pintu di depan matanya. 

Ear Training class – kelas paling membosankan sepanjang masa,” celetuk Amber setelah ia menduduki kursi di barisan tengah. Karen masih berada dalam lamunannya sampai Amber menepuk punggung tangannya dan berbisik, “Karen, lihat! 

Seorang wanita berkaki jenjang memasuki kelas dengan membawa classic handbag dan MacBook Air di tangan kirinya. Wajah tirusnya ditutupi oleh rambut ikal yang dibiarkan tergerai dan terdapat scarf kuning yang ia jadikan sebagai sebuah headband. Karen dan Amber melihat tanpa berkedip. 

Morning, fellas. Nama saya Cecil dan cukup panggil nama saya, tidak perlu menggunakan embel-embel lain,” jelasnya. Ia kemudian menjelaskan bahwa ia akan menggantikan Mrs. Diane yang telah pensiun akhir semester lalu. 

“Wow, karismanya.” 
“Aku tarik ucapanku tadi – ini akan menjadi kelas paling menyeramkan sepanjang masa.” 

Di sudut kelas ia tampak sibuk dengan pulpennya. Kepalanya dipenuhi oleh notasi yang telah tersusun rapi dan membentuk sebuah verse. Jarang sekali aku menghadapi jalan buntu seperti ini, pikir anak itu. Panggilan ketiga dari Mrs. Cecil membuyarkannya.

What are you doing up there, Sebastian?” 
Um, nothing, Ma’am. Sorry.” 
“Wow, anak ini rupanya tidak memerhatikanku dari awal. Tolong jangan bermain dengan duniamu sendiri, young man. Kehadiranku untuk hari ini tidak akan menghabiskan sisa hidupmu. Tahan ide-ide liarmu untuk sepuluh menit ke depan,” jelas Mrs. Cecil. 

Seisi kelas bahkan tidak dapat mengubah pandangannya dari Mrs. Cecil, berharap sepuluh menit dapat berlalu dengan cepat. Kaki Amber tidak bisa melepaskan tautannya dari kaki Karen sejak kelas dimulai. 

“Kali ini saya akan memberikan sebuah proyek untuk satu tahun ke depan. Kalian hanya perlu membuat sebuah role play beranggotakan dua orang dari dua program berbeda. Kalian bebas menentukan genre, partner kalian, dan kasting siapapun yang kalian kenal. Saya tidak akan hadir di kelas setiap minggunya, tapi kalian bisa berkonsultasi di ruangan saya di hari apapun. Saat preliminary nanti, saya harap kalian dapat menyelesaikan minimal hingga second stage. Saya akhiri kelas ini,” ia mengakhiri kelas dengan menutup notebook, kemudian berjalan melintasi ruangan. 

“Kau tahu? Aku menahan napas sejak ia masuk. Aku mulai merindukan Mrs. Diane,” Amber merebahkan kakinya yang telah lengket dipenuhi keringat. 
“Proyek sekarang bakal berat, Amber. Kita bahkan gak kenal anak-anak dari program lain.” 
“Salah besar. Ada Keane untukku.” 
Oh, right. You’re his girlfriend,” keluh Karen, menjinjing tasnya dan berjalan menuju perpustakaan. 

**** 

Karen yang tengah mengambil buku – ‘Panduan Penulisan Skenario,’ karya Duncan – tersontak ketika seseorang menutup matanya. Mengetahui aroma tangannya, ia langsung memutar dan mengomeli laki-laki tersebut.

“Tongki! Dari mana aja lo? Gila ya, gue udah kaya kesurupan nyari lo kemana-mana.” 
“Sori, sibuk banget nih. Asisten gue tiba-tiba resign bulan kemarin, terus gue gak sempet cari yang baru jadi semua gue kerjain sendiri,” jelas Barry. Karen memanggilnya Tongki karena ia sempat memakai tongkat selama empat bulan akibat sebuah kecelakaan kecil di Wilson Theatre. 
“Gak bisa gitu seenggaknya ngabarin gue sekali?” 
“Bisa. Nih, gue ngabarin sekarang,” Barry tertawa diikuti dengan tinju Karen yang mendarat di lengannya. 
“Gue juga bakal sibuk banget nih,” ada jeda disana. “Ralat, bukan sibuk. Tapi stres.” 
“Kenapa? Cecil ya?” 
“Kok lo tau? Stalker ya?” 
“Lo lupa gue siapa disini? Cecil bakal jadi main instructor lo sampe lo lulus,” Barry merupakan seorang Technical Director, tidak heran jika ia mengenal semua petinggi maupun pengajar di Jefferson. 
“Sumpah lo? Wow,” Karen menghembuskan napas berat lalu melanjutkan, “dia seumuran ya sama lo?” 
Apparently. Kenapa? Cemburu lo? Dia udah nikah ya.” 
“Udah nikah semuda itu?” 
“Dia istrinya Mr. Clark – punya satu anak cewek umurnya 6 bulan dan tinggal di 101 West End Avenue. Dia senior lo. Kayanya lo gak baca academic plan lo ya, jelas-jelas nama belakangnya ada nama suaminya.” 
“Istrinya Mr. Clark?” Karen langsung membuka academic plan yang tidak pernah ia buka sejak ia mendapatkannya. Adam Clark merupakan salah satu arranger terbaik di New York. “Ya ampun, umur segitu dia udah punya segalanya.” 
“Dan bakal menghantui lo sampe lulus,” tambah Barry cekikikan. 
“Eh, serius nih gue butuh bantuan lo banget. Lo gak punya kenalan dari departemen lain? Proyek gue sekarang cross-program dan gue butuh satu orang itu.” 
“Selain dari Vocal Arts? Keane?” 
Hello? Then what about Amber?” 
“Oh, iya. Kenalan gue banyaknya anak Applied Arts, yang gue tau dari departemen lo ya lo bertiga doang.” 
Karen yang sejak tadi menaruh harapan pada Barry kini terduduk di kursi di hadapannya, memikirkan siapa orang yang bisa ia ajak untuk “berkompromi”. Ia dikejutkan dengan sebatang Hershey’s Special Dark kesukaannya. 
“Nih, makan ini dulu. Gue yakin lo pasti belum sarapan.” 
Thanks, Tongki.” 

Berjarak dua lorong dari sana, Bastian – yang jarinya tidak lepas dari pulpen birunya sejak ia mendapat teguran Mrs. Cecil – masih berkutat dengan pikiran kosong seperti dompet di akhir bulan. Buku catatan dibiarkan terbuka, begitu juga dengan laptop yang menampilkan sejumlah note bar dari sebuah aplikasi pembuat musik. 

Dude!” 
Sorry. Kau dari tadi memanggilku? Kenapa?” 
“Udah tahu proyek nanti mau sama siapa?” Mario, yang dari tadi memanggilnya, panik setengah mati karena belum mendapatkan partner. 
“Belum. Kau dari tadi memanggilku sampai panik begitu hanya ingin bertanya hal ini?” 
“Jelas aku panik. Dia akan jadi instruktur untuk kelas ini sampai tahun ketiga.” 
“Yang bikin aku heran kenapa proyek untuk kelas ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan nama kelasnya,” sela Jacelyn yang datang bersama Mario. 
“Ada perubahan kurikulum untuk tahun ini – akan ada parallel-class dengan kelas utama dari program Vocal Arts, dan kelas itu otomatis akan masuk ke dalam kredit kita. Kalian tidak membaca academic plan?” jelas Bastian. 
“Kelas baru maksudnya? Yang Lyric Studies itu?” 
“Yup, tapi untuk Vocal Arts namanya lain. Aku lupa apa namanya, tapi yang jelas kelas itu akan memberikan tugas yang sama, jadi tugas kita dari subjek lain berkurang satu. Just chill.” 
But we can’t chill though. Walaupun dia tidak akan menghadiri kelas, asistennya akan tetap mengawasi dan memantau progres kita. Minggu depan kita sudah harus memberikan nama,” Mario, masih dalam keadaan panik, kini lari-lari di tempat tanpa alasan yang jelas. 
“Aku bertaruh dia tidak mendengarnya tadi.” 
Tepat sasaran. Bastian tidak memerhatikan hal tersebut. Seketika pikirannya dipenuhi oleh proyek sialan itu. 

www.meetlalaland.com - Bel Canto: Adagio

Langit sore itu masih tampak cerah, Karen yang telah menghabiskan empat jam di perpustakaan akhirnya menyerah dan menuntun sepedanya menuju apartemen. Ia mengubah pikiran dan membelokkan sepeda menuju West 56th Street setelah merasakan rasa perih dari perutnya. 

Classic Cheese Pizza, 8 inches. Takeaway, please.” 
Oh, I know you. Lo tinggal di kamar 420J, kan?” pertanyaan itu membuat Karen berpaling dari buku menu yang ia pegang. 
“Iya. Kok tau? Dari mana ya?” 
“Eh, santai aja kali. Kamar gue seberang kamar lo, nama gue Kiana. Dari Jakarta gue.” 
“Oh, hai. Gue Karen, dari Bandung udah lama tinggal di West 54th?” 
“Dari empat tahun yang lalu. Sebenernya pas lo pindahan kemarin gue pengen banget kenalan sama lo, cuma gak sempet mulu malah kenalannya disini deh,” Kiana tertawa dan melanjutkan, “bentar ya, gue buatin. Ada lagi?” 
“Udah itu aja. Thanks, ya.” Karen menuju kursi terdekat untuk menunggu pesanannya. Ia membuka iMessage dan mengirimkan sebuah pesan – 'lo utang cerita soal Gina sama gue' – kepada adiknya. Tidak lama Kiana datang bersama sebuah kotak pizza dan dua buah tumblr. 
“Vanilla Frozen Yoghurt Shake. Buat lo, gue abis gajian barusan,” Kiana memberikan kotak pizza dan salah satu tumblr berwarna hitam bertuliskan ‘Vanilla’s Inside.’ 
“Wow, makasih. Udah kelar shift lo? Mau balik bareng?” 

Karen dan Kiana banyak bercerita dalam perjalanan pulang dan ini yang didapatkan Karen; Kiana tinggal di kamar 421J, saat ini ia sedang menjalani tahun keduanya di Kellington College. Ia mengambil program kriminologi karena alasan sepele, “gue suka banget nonton Law and Order, terus gue pikir-pikir ya gak ada salahnya juga gue ambil major ini,” jelasnya. Dulu Kiana tinggal bersama kakak laki-lakinya, namun ia memilih pindah setelah kakaknya menikah musim panas empat tahun yang lalu. 

“Gue selalu kagum sama anak-anak Jefferson. Tiap kali gue lewat sekolah lo gue selalu pengen masuk – liat kalian latihan, recital di Lincoln Center. Selama gue disini, gue gak pernah punya kenalan dari Jefferson, gak taunya depan kamar gue anak teladan dari sana. Gila emang,” gelengan kepala Kiana menggerakkan antingnya yang menjuntai. 
Mendengar ucapan Kiana, seketika Karen teringat sesuatu yang mengganggu pikirannya seharian ini. “Lo mau besok kesana?” 

**** 

Bastian sudah tidak dapat menahan kantuknya lagi. Kantung mata yang hampir menutupi tulang pipinya yang tegas itu kini menjadi perhatian semua orang di The Café. Sudah lebih dari empat puluh jam ia tidak membiarkan matanya untuk istirahat – lagu yang ia kerjakan untuk Karen mengalami kebuntuan. 

Bastian telah mengetahui kemampuan Karen sejak tahun pertama. Saat itu ia mendengar suara humming yang keluar dari mulut Karen di sudut ruangan. Selama kelas berlangsung Bastian hanya memerhatikan Karen, diikuti dengan beberapa notasi yang telah membentuk sebuah chorus dalam kepalanya. Ia pun bertekad untuk menyelesaikan lagu tersebut dan membiarkan Karen untuk memilikinya. 

Seperti hari lain, antrean di kafetaria tersebut mengular hingga pintu masuk. The Café terkenal dengan kelezatan dan variasi hidangan yang ditawarkan – untuk pagi ini, disajikan French Bistro Buffet dengan menu andalan spinach quiché dengan limpahan keju Gruyére. 

Dari kursinya, Bastian melihat Karen menempel kartu mahasiswa untuk pembayaran makan paginya – ia membawa nampan dengan sepiring French toast, semangkuk buah-buahan segar, juga segelas orange juice – dan bersiap untuk berjalan menuju bangku halaman. Tanpa sadar Bastian meninggalkan mejanya untuk mengikuti gadis tersebut. 

“Hai,” sapanya ketika Karen sedang menggigit rotinya. 
“Halo. Ada apa ya?” 
“Boleh duduk disini?” 
“Boleh,” Karen menjawab canggung. Ia tampak familiar, pikirnya. 
“Begini. Aku Bastian, dari program Composition. Kau Karen, kan?” 
“Iya. Terus?” 
Do you already have, like a partner?” dan buru-buru menambahkan, “for the project, I mean.” 
Nope. Tunggu,” Karen berpikir sejenak kemudian menaruh pisau dan garpu di atas rotinya, melanjutkan, “kau mau menjadi partnerku?” tanyanya penuh semangat. 
Dalam hitungan detik, Bastian langsung jatuh hati melihat reaksi Karen. “Tentu. Aku lega kau mau menerima ajakanku. Maaf karena aku langsung memintamu, aku tidak punya kenalan lain,” Bastian menutupi alasan utamanya mengajak Karen, rasa malu masih menyelimutinya. 
“Aku tak akan menolaknya. Sekedar informasi, aku pun tidak punya teman selain dari programku. Jadi, mungkin ini takdir?” senyum lebar Karen meyakinkan Bastian jika ia telah membuat pilihan yang tepat. 
Yeah, probably.” Bastian tidak melepas hoodie dari kepalanya, ini dilakukan untuk menutupi telinganya yang memerah. “Jadi, kau sudah punya rencana? Sepertinya kau telah memiliki ide brilian.” 
“Aku juga berharap seperti itu. Jujur aku belum menyiapkan apapun. Tapi temanku akan datang kesini siang ini. Jika kau tidak keberatan, kau boleh ikut.” 
“Maksudmu, kau akan kasting temanmu itu? Apa dia sudah tahu tentang hal ini?” 
“Belum. Tapi aku yakin dia pasti menginginkannya.”

Post a Comment

Instagram